REPUBLIKA.CO.ID, BULUNGAN -- Indonesia Halal Watch (IHW) meminta pemerintah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 yang meniadakan kewajiban label halal dalam produk impor. Beleid tersebut dinilai tidak sejalan dengan aspek agama, hukum, hingga ekonomi yang berlaku.
Pada 24 April 2019 Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan beleid tersebut tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan Dan Produk Hewan. Beleid tersebut diundangkan melalui Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 460 yang diterbitkan dalam rangka menjawab tuntutan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyusul kekalahan Indonesia dari keputusan panel Sengketa Perdagangan Nomor DS 484 pada tanggal 22 November 2017 silam.
"Kalau label itu ditiadakan, berarti aspek agama, ketentuan hukumnya juga ditabrak dari beleid tersebut," ungkap Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah saat dihubungi Republika, Kamis (12/9).
Dia mencatat, Permendag tersebut diterbitkan sebagai bagian dari implikasi kekalahan Indonesia dalam Sengketa Perdagangan Nomor DS 484 dengan Brasil. Yang intinya, bahwa tidak ada kewajiban negara pengekspor daging unggas ke Indonesia harus melakukan sertifikasi halal sebagai prasyarat diterimanya barang impor tersebut.
Keputusan tersebut dinilai sangat serius untuk dilakukan perundingan lebih lanjut dengan Brasil, mengingat bahwa apabila Indonesia menjalankan keputusan WTO tersebut dengan sepenuhnya maka akan memicu masalah-masalah di dalam negeri.
Permasalahan pertama, dia membeberkan, pemerintah Indonesia harus menghapuskan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mengatur mengenai kewajiban bersertifikasi halal yaitu, Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia untuk wajib bersertifikat halal. Padahal Indonesia saat ini sedang mempersiapkan masa kewajiban mandatori sertifikasi halal untuk semua produk, baik produk impor maupun produk lokal yang akan dimulai pada 17 Oktober 2019 nanti.
Kedua, lanjutnya, putusan WTO tersebut berpotensi melanggar hak-hak konsumen Muslim, khususnya yang saat ini menurut data statistik berjumlah 220 juta jiwa di Indonesia. Apabila hal itu diterapkan secara utuh, maka konsumen Muslim tersebut tidak akan mendapatkan perlindungan negara untuk mendapatkan daging impor baik daging unggas maupun daging merah yang berimplikasi hukum bagi semua produk hewan dan turunannya.
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 juga dinilai berpotensi untuk membuka pintu bagi semua produsen atau eksportir daging untuk minta diperlakukan sama. Seperti halnya Brasil saat ini yang meminta penghapusan atas persyaratan label halal terutama dari negara-negara member WTO.
Bila dibandingkan dengan Permendag Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, maka terdapat kewajiban yang dipersyaratkan untuk produk hewan impor atau dengan kata lain terdapat kewajiban untuk mencantumkan label kehalalan sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) huruf e.
Permendag Nomor 29 Tahun 2019 juga dinilai tidak sinkron dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan atau Olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
"Di Pasal 7 angka 3 disebutkan babwa persyaratan halal bagi produk yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan UU JPH," ujarnya.
Dia menuding bahwa norma yang tertuang dalam Permendag Nomor 29 Tahun 2019 seharusnya tidak layak untuk diundangkan mengingat melanggar ketentuan UU JPH juga bersinggungan dengan Peraturan Menteri yang sederajat.
Sebagai catatan, Indonesia adalah negara anggota WTO dan telah meratifikasi ketentuan-ketentuan WTO sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Akan tetapi sebagai Negara berdaulat dan untuk kepentingan warga negaranya yang 87 persennya adalah Muslim, kata dia, seharusnya Indonesia tidak tunduk dengan tekanan WTO apalagi untuk menghapuskan ketentuan halal bagi perdagangan daging unggas dan daging merah.
Karena apabila Permendag ini diikuti oleh negara pengimpor daging seperti Brasil dan lainnya, maka ketentuan syariat (agama) yang sangat mendasar untuk hewan sembelihan tidak lagi menjadi kewajiban karena kita tidak mengetahui lagi apakah daging unggas dan daging merah tersebut disembelih dengan proses penyembelihan yang memenuhi ketentuan atau standar syariat.
"Ini berdampak kepada akibat hukum dari perdagangan daging tersebut menjadi tidak jelas kehalalannya, padahal umat Islam wajib mengkonsumsi daging dengan persyaratan harus disembelih dengan proses penyembelihan dengan menyebut nama Allah sesuai ketentuan Al-Quran surat Al Maidah ayat 3 yang berbunyi, diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala," ujarnya.