Jumat 13 Sep 2019 06:10 WIB

Mewujudkan R-80 Butuh Kejelasan Prioritas Pemerintah

Membangun R-80 tak akan mudah karena sudah banyak negara yang membuatnya.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolanda
Miniatur rancangan pesawat R80 ditampilkan pada Jabar Habibie Festival, di Telkom University Convention Hall, Jumat (30/11).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Miniatur rancangan pesawat R80 ditampilkan pada Jabar Habibie Festival, di Telkom University Convention Hall, Jumat (30/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Almarhum BJ Habibie pernah menghidupkan industri penerbangan Indonesia melalui pesawat N-250 yang dibuatnya. Anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibi, melalui PT Ilhabi Rekatama mencoba mengembangkan N-250 dengan membuat pesawat yang dinamai R-80 yang saat ini masih membutuhkan sejumlah investasi untuk mewujudkannya.

Pengamat Penerbangan Indonesia Aviation Center Arista Atmadjati mengatakan untuk mewujudkan R80 dibutuhkan kejelasna prioritas dari pemerintah.  "Makanya pemerintah lagi konsentrasi yang NC-212 (produksi PT Dirgantara Indonesia). Itu yang didorong karena uang kita terbatas. Sekarang ini kalau kita samain NC 212 dan R-80 apa iya gitu," kata Arista kepada Republika.co.id, Kamis (12/9).

Baca Juga

Arista menjelaskan saat ini pembuatan pesawat R80 tidak didanai pemerintah. Sebab, kata dia, pesawat R-80 merupakan proyek pribadi Habibie dengan perusahaan milik anaknya dan masih membutuhkan sponsor untuk dananya.

Untuk itu, pemerintah menurutnya perlu menentukan prioritasnya terlebih nantinya persaingan R80 dengan produk negara lain tidak akan mudah. Arista mengatakan saat ini banyak negara maju yang memproduksi pesawat sejenis R80 dengan kapasitas angkut sebanyak 80 sampai 90 penumpang.

"Itu kan banyak negara-negara maju yang bikin pesawat dengan kapasitas penumpang segitu. Itu nanti kita bisa digilas karena persaingan di dunia penerbangan itu kejam," tutur Arista.

Dia mencontohkan salah satunya Jerman yang juga sukses menjual pesawat sejenis R80 dan akan menjadi kompetitor. Arista menegaskan, hal tetsebut juga harus menjadi pertimbangan.

Meskipun begitu, Arista mengatakan bukan berarti R80 tidak bisa diandalkan. "R80 oke lah kalau dipakai di domestik, banyak bandaranya juga. Artinya kita nggak muluk-muluk R80 bisa untuk Indonesia dan ASEAN," tutur Arista.

Hanya saja, untuk menuju ke sana, Arista memandang pemerintah harus menentukan skala prioritasnya. Sebab, untuk mewujudkan R-80 menbutuhkan dan yang tidak sedikit.

"Cuma sekarang skala prioritas pemerintah yang mana? Dananya kan juga keuangan pemerintah terbatas. Kalau satu R80 (dananya) bisa sampai Rp 500 miliar," ujar Arista.

Selain itu, meski pemesan R80 disebut2 sudah banyak namun menurut Arista hal tersebut belum bisa menjadi jaminan untuk mendorong pemerintah menjatuhkan prioritasnya. Arista menilai jika masih hanya tertarik, belum tentu sudah pasti akan membelinya.

"Kita kalau keperluan pesan minta banyak saja ya itu masih normatif tidk bisa dipegang. Nggak bisa jadi dasar kalau mau beli. Pesan gampang, bisa dibatalkan di tengah jalan, yang sudah MOU saj bisa batal," ungkap Arista.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi masih berharap pesawat R-80 bisa berjaya melanjutkan eksistensi N-250."Harapan saya kita akan koordinasikan (terkait kelanjutan proyek konstruksi pesawat R-80) agar menjadi suatu kenyataan," kata Budi saat ditemui di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis (12/9).

Pesawat tersebut saat ini masih dirakit di Bandara Kertajati, Jawa Barat. Pesawat R-80 digadang-gadang bisa menjadi tadingan pesawat tipe Avions de Trasnport Regional (ATR) yang sudah banyak digunakan banyak maskapai komersil saat ini.

Saat ini, pesawat R-80 masih dalam tahap pengembangan namun pemesannya sudah mengantre. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Taun 2017 tentang Proyek Strategis Nasional yang memasukkan pesawat R-80 di dalamnya.

Pesawat R-80 masih menunggu kelanjutan pendanaan untuk proses pengembangannya. Pendanaan dan investor baik dari swadaya masyarakat sangat dinanti bahkan pengumpulan dana melalui kitabisa.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement