Rabu 11 Sep 2019 11:05 WIB

Harapan Negosiasi Dagang Tahan Tekanan Rupiah

Cina menawarkan untuk membeli produk-produk pertanian Amerika Serikat.

Rep: Antara/ Red: Friska Yolanda
Petugas Bank Indonesia memeriksa uang rupiah yang lusuh milik warga saat melakukan ekspedisi kas keliling di kawasan Pasar Selat Panjang Pulau Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Rabu (4/9/2019).
Foto: ANTARA FOTO
Petugas Bank Indonesia memeriksa uang rupiah yang lusuh milik warga saat melakukan ekspedisi kas keliling di kawasan Pasar Selat Panjang Pulau Tebing Tinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Rabu (4/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu (11/9) pagi melemah tipis. Adanya harapan negosiasi dagang Amerika Serikat dan Cina menahan tekanan lebih dalam.

Terpantau, rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu pagi bergerak melemah sebesar 15 poin atau 0,11 persen menjadi Rp 14.065 per dolar AS dibanding posisi sebelumnya Rp 14.050 per dolar AS. Kepala Riset Monex Investindo Future Ariston Tjendra mengatakan tawaran kesepakatan dagang dari Cina memberi optimisme pasar terhadap negosiasi dagang AS-Cina yang akan berlangsung awal Oktober nanti. Situasi itu menahan tekanan rupiah lebih dalam.

"Cina menawarkan untuk membeli produk-produk pertanian Amerika Serikat dan memperbaiki praktek hak kekayaan intelektual yang dikeluhkan AS," katanya.

Sebagai timbal baliknya, lanjut dia, Cina meminta AS untuk tidak menerapkan tarif untuk produk-produknya dan Huawei dapat berbisnis di AS. "Tawaran itu memberikan harapan bahwa resolusi perang dagang dapat segera tercapai," katanya.

Ia mengatakan, para pejabat AS dan Cina sedianya akan bertemu pada pertengahan September ini untuk mempersiapkan pertemuan tingkat menteri yang akan berlangsung di awal Oktober nanti.

Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pergerakan rupiah juga masih diwarnai oleh kebijakan moneter dari hasil pertemuan bank sentral Eropa (ECB). Dari dalam negeri, ia meyakini apabila pasar kembali bergolak akibat perang dagang dan Brexit maka BI siap untuk kembali membuat pasar bergairah dengan instrumen bauran kebijakan moneter. Selain itu amunisi terakhir adalah penurunan suku bunga acuan yang sudah dilakukan sebelumnya.

"Ke depan, BI dan pemerintah akan terus mendorong perekonomian dan pre emptive serta selalu waspada terhadap kondisi global dan terus membuat kebijakan yang akan mempermudah investor berinvestasi agar bisa masuk ke Indonesia," ujar Ibrahim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement