Selasa 03 Sep 2019 21:16 WIB

Izin Proyek Pembangunan PLTA Tampur 1 Dinilai Ganjil

Saat ini Aceh sudah mengalami surplus listrik.

Rep: Imas Damayanti/Haura Hafizhah/ Red: Dwi Murdaningsih
Stop pembangunan PLTA Tampur 1 di Aceh.
Foto: Republika/Haura Hafizhah
Stop pembangunan PLTA Tampur 1 di Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan pemberian izin pinjam kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah terkait proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-1, Kabupaten Gayo Leus, Aceh. Pemberian izin IPPKH di tingkat daerah dinilai ganjil.

Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada 28 Agustus 2019 mengabulkan gugatan Walhi terkait IPPKH yang dikeluarkan pemda tersebut. Adapun IPPKH yang dikeluarkan untuk PLTA itu berada di kawasan ekosistem Leuser atau hutan lindung seluas 4.000 hektare.

“Kami pertanyakan kenapa IPPKH itu yang keluarkan justru gubernur (pemda), makanya kita gugat. Tapi yang paling penting adalah, PLTA di kawasan ekosistem ini jika terealisasi akan sangat merusak lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh Nur Muhammad, di Jakarta, Selasa (3/9).

Selain mempertanyakan izin di kawasan hutan itu, pihaknya menduga ada maksud terselubung yang menyertai rencana proyek tersebut. Menurut dia, luasan lahan pembangunan PLTA sebesar 4.000 hektare sangat tidak rasional. Padahal idealnya pembangunan PLTA dapat dimungkinkan dibangun di atas lahan seluas 5 hektare.

Dia menduga, pemberian izin tersebut bakal merambet ke penyalahgunaan perizinan. Dia menyebut tak menutup kemungkinan apabila realisasi izin tersebut dimuluskan bakal ada eksploitasi di kawasan lingkungan yang masif.

Mega proyek PLTA Tampur menurutnya akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga dapat menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan. Kondisi tersebut diproyeksi bakal menurunkan kebutuhan fungsi lindung dari kawasan strategis ekosistem Leuser yang merupakan habitat gajah Sumatera.

“Ketika fungsi hutan berubah, maka pasti akan dibuka akses jalan atau industri. Ini ada indikasi eksploitasi, bisa jadi di kawasan itu ditemukan emas atau sumber daya alam lainnya yang menarik dari sisi bisnis," ungkapnya.

Di sisi lain dia menilai, proyek pembangunan PLTA di wilayah Aceh sangat tidak relevan dari berbagai aspek. Menurut dia, saat ini Aceh sudah mengalami surplus listrik sebab terdapat 20 pembangkit listrik yang tersedia di sana, di mana 7 di antaranya merupakan PLTA.

Berdasarkan catatan Walhi, beberapa proyek PLTA yang ada antara lain PLTAPeusangan dengan produksi listrik berkapasitas 84 megawatt, Unit Pembangkit Listrik Nagan Raya 3 dan 4 dengan produksi listrik sebesar 200 megawatt, PLTG di Krueng Raya dengan kapasitas listrik sebesar 50 megawatt, dan PLTB Jaboi du Sabang dengan kapasitas listrik sebesar 15 megawatt.

Menurutnya, pemerintah Aceh sudah seharusnya memfokuskan diri untuk memaksimalkan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada sehingga dapat menghasilkan sekitar 400 megawatt listrik. Untuk itu, dia menilai proyek PLTA Tampur-1 tak relevan baik dari aspek bisnis maupun lingkungan.

Secara lingkungan, dampak pembangunan PLTA akan merusak habitat satwa yang ada di kawasan ekosistem terebut. Selain itu diprediksi bakal ada kerugian materil bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitar yang mata pencahariannya bergantung kepada hutan.

Sebagai catatan, proyek ini rencananya akan membanjiri seluruh desa Lesten dengan populasi sebanyak 74 Kepala Keluarga (KK). Perusahaan diharuskan menyelesaikan proses relokasi kepada 74 KK sebelum 9 Juni 2018. Namun hingga saat ini perusahaan yang membawahi proyek PLTA Tampur 1, PT Kamirzu, belum menemukan daerah yang cocok untuk relokasi desa tanpa resiko mengekspos komunitas lesten pada konflik dengan gajah.

Yang ganjil, menurut Nur, proyek ini sangat bersifat tertutup sehingga sulit ditelusuri kepentingan apa di balik proyek tersebut. Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Dadang Triasongko mengatakan, setiap perusahaan maupun proyek pembangunan yang melingkupi banyak aspek harus disertai transparansi. Hanya saja dia menggarisbawahi, tidak transparannya suatu perusahaan belum tentu menyebabkan adanya indikasi pelanggaran hukum, termasuk korupsi.

“Tapi kalau tidak transparan itu bisa menjadi ruang bagi penggelapan macam-macam. Meski ya, tidak transparan belum tentu ada pelanggaran,” ungkapnya.

Kepala Bagian Informasi Publik dan Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Djati Witjaksono Hadi menegaskan, pada umumnya izin IPPKH harus dikeluarkan oleh pusat (KLHK). Artinya, dia memastikan pemerintah pusat belum mengetahui pengeluaran IPPKH oleh Pemda Aceh tersebut.

“Kami harus cek dulu, tapi biasanya IPPKH itu kami yang keluarkan,” ujarnya.

Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, Farwiza Farhan, mengatakan, para perusahaan yang ingin membangun PLTA harus dihentikan. Sebab, proyek sering mengesampingkan prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup terhadap kawasan yang seharusnya dipertahankan.

“Hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) memiliki peran vital dalam memberikan jasa ekologis untuk dimanfaatkan dan juga berfungsi sebagai pengatur air sekaligus pelindung dari bencana ekologis bagi masyarakat disekitarnya,” kata dia.

Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan PLTA Tampur 1 akan berdampak besar terhadap fungsi ekosistem, seperti terganggunya habitat satwa gajah Sumatera yang akan ditenggelamkan oleh proyek PLTA Tampur 1. Dia ingin proyek PLTA Tampur ini dibatalkan.

Farwiza mengaku sampai sekarang belum ada jalan keluar terkait masalah tersebut. Ia berharap perusahaan berubah pikiran dan lebih memikirkan nasib alam dan masyarakat yang tinggal disana. Jika nantinya memaksakan untuk membangun PLTA tersebut Sumber Daya Alam (SDA) di Aceh akan rusak dan habis secara perlahan.

“Apakah ini yang diinginkan untuk merusak SDA di Aceh? kami tidak melarang adanya pembangunan tapi kami tidak bisa tinggal diam jika pembangunan tersebut lokasinya tidak dipilih dan dipikirkan dampaknya. Terlebih dampaknya SDA dan habitat satwa terganggu. Jadi, ini sebenarnya pembangunan PLTA untuk siapa?,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement