Ahad 01 Sep 2019 17:28 WIB

Produksi Beras Tahun Ini Diprediksi Anjlok

Penurunan produksi beras terutama akibat masa tanam yang terlambat.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Panen padi (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Panen padi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Panjangnya musim kemarau yang berlangsung dengan terlambatnya masa tanam di tahun lalu diprediksi bakal menyumbang penurunan produksi beras nasional. Jika dibandingkan tahun lalu, produksi beras tahun ini diprediksi bakal anjlok.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menilai pemerintah perlu mengantisipasi kondisi kemarau yang berkepanjangan ini untuk menjaga produksi beras nasional. Menurutnya, pemerintah tidak boleh asal mengklaim produksi dan cadangan beras aman padahal kondisi riil di lapangan dengan sejumlah faktor tengah terjadi dapat mengakibatkan produksi kian merosot.

“Tahun-tahun sebelumnya juga pemerintah klaim aman produksi (beras) kita, tahunya impor. Ini berulang-ulang terus, tak ada antisipasi sehingga produksi selalu diprediksi anjlok,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (1/9).

Dia menjelaskan, prediksi penurunan produksi beras kontribusi terbesarnya terjadi akibat masa tanam yang terlambat. Harusnya, kata dia, pertanaman dimulai sejak November 2018 namun yang terjadi justru dilangsungkan pada Desember 2018.

Terlambatnya masa tanam itu juga mengakibatkan penurunan luas panen. Dia menyebut tahun ini terjadi penurunan luas panen lebih dari 500 ribu hektare. Kondisi tersebut dinilai merambet ke musim panen di bulan-bulan selanjutnya.

“Panen musim pertama itu bergeser juga, puncak panen sekarang ini di bulan April. Mei petani mau tanam, sebagian sudah masuk musim kemarau sehingga mereka mengalihkan tidak menanam padi dan malah menanam yang lain. Ini penyumbang penurunan terbesar produksinya,” ungkapnya.

Sedangkan dengan kondisi sejumlah lahan yang kering dan terdampak puso meski dinilai mempengaruhi penurunan produksi, namun jumlahnya tak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan terlambatnya masa tanam. Harusnya masa tanam tersebut harus diperhatikan pemerintah agar ketersediaan beras nasional stabil dan harga tak bergejolak.

Dia mencontohkan, pada 2015 pemerintah mengklaim terjadi surplus beras nasional sebesar 10 juta ton di akhir tahun dan memastikan produksi aman. Nyatanya, impor justru digulirkan di awal tahun 2016 dengan kuota sebesar 1,6 juta ton. Hal yang sama terjadi pada 2017 di mana pemerintah mengklaim terjadi surplus beras nasional sebesar 17,6 juta ton.

“Di 2017 itu diklaim surplus beras, ditahan-tahan lah itu impor sehingga harga kadung bergejolak. Januari 2018 akhirnya kita impor 1,2 juta ton, mana ada ceritanya di Republik ini impor beras di masa mendekati panen? Dua bulan lagi panen itu padahal,” ungkapnya.

Untuk itu dia menekankan kepada pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dalam mengelola data produksi. Menurutnya, kebijakan yang akurat itu harus dilandasi dengan ketersediaan data yang baik.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional sepanjang Januari-Desember sebesar 29,57 juta ton. Sedangkan produksi beras nasional di periode tahun yang sama sebesar 32,4 juta ton.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi menyampaikan, produksi beras nasional memang dalam kondisi stabil. Suwandi menampik adanya masa tanam yang terlambat dengan indikasi masa panen yang terus terjadi hingga saat ini di lapangan.

“Pane nada terus kok, kita setiap hari tanam setiap hari panen. Di Karawang baru-baru ini panen,” ujarnya.

Dia menyebutkan, produksi panen secara bulanan di tahun ini dirata-rata sebesar 900 ribu-1 juta hektare. Dia juga membandingkan jumlah produksi di tahun ini hampir sama dengan produksi di tahun lalu, bahkan ditargetkan jumlah produksi tahun ini bakal lebih meningkat jika dibandingkan tahun lalu.

Suwandi optimistis sebab terdapat asumsi perhitungan produksi yang dilakukan BPS. Berdasarkan catatan BPS, luas panen gabah kering panen (GKP) Januari-Oktober 2019 sebesar 9,54 juta hekatre dengan produksi sebesar 48,99 juta ton. Prediksi tersebut dinilai bakal surplus memenuhi kebutuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement