REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel lahan korporasi yang terindikasi melakukan pelanggaran kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Mayoritas lahan korporasi tersebut terdiri dari perkebunan sawit.
Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan, pemerintah akan melakukan sanksi administratif, pidana, dan pembekuan izin. Dari 27 lahan korporasi tersebut pihaknya masih melakukan pendalaman lebih jauh.
“Yang terbakar ini kebanyakan memang lahan perkebunan dan HTI (hutan tanaman industri), komoditasnya yang mendominasi ya sawit,” ujarnya di KLHK, Kamis (29/8).
Total lahan dari 27 perusahaan tersebut seluas 4.490 hektare dan berada di lima provinsi berbeda antara lain Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Penyegelan dilakukan mulai 3-26 Agustus 2019.
Saat ini KLHk tengah mempersiapkan langkah-langkah hukum apa saja apabila terdapat langkah gugatan baik itu perdata maupun pidana. Pemeriksaan tersebut juga terus diintensifkan dalam pengumpulan bahan keterangan (pulbuket) kepada 24 lahan konsesi yang ada. Sedangkan tiga lainnya, kata dia, telah ditetapkan sebagai tersangka atau masuk ke dalam tahapan penyidikan.
Adapun ketiga perusahaan yang masuk ke tahap penyidikan itu antara lain PT SKM dengan karhutlanya seluas 800 hektare, PT ABP seluas 80 hektare, dan PT AER 100 hektare yang keseluruhannya berada di Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pelaku karhutla dapat dikenakan sanksi pidana minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Sedangkan sanksi denda minimal Rp 1 miliar dan maksimum Rp 5 miliar.
Dia menambahkan, pemerintah juga telah melayangkan surat peringatan terkait dugaan karhutla kepada 210 perusahaan lainnya. Menurutnya, sejauh ini 99,9 persen kasus karhutla yang terjadi di Indonesia disebabkan ulah manusia baik itu yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Berdasarkan catatan KLHK, 27 perusahaan yang lahannya disegel antara lain PT Mas (Jambi), PT RAPP (Riau), PT TKW (Riau), PT GSM (Riau), PT SRL (Riau), PT HBL (Sumatera Selatan), PT DAS (Kalimantan Barat), PT UKIJ (Kalimantan Barat), PT GKM (Kalimantan Barat), dan PT PLD (Kalimantan Barat).
Selanjutnya ada PT MSL (Kalimantan Barat), PT TANS (Kalimantan Barat), PT SPAS (Kalimantan Barat), PT MAS (Kalimantan Barat), PT SP (Kalimantan Barat), PT ABP (Kalimantan Barat), PT HKI (Kalimantan Barat), PT BMH (Kalmantan Barat), PT IGP (Kalimantan Barat), PT IFP (Kalimantan Tengah), dan PT KS (Kalimantan Tengah).
Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Raffles Panjaitan menyampaikan, pemerintah masih melakukan pengendalian karhutla dan pemadaman bersama sejumlah tenaga teknis lapangan terkait. Saat ini, total luasan karhutla mencapai 135.747 hektare. Jumlah tersebut dinilai turun jika dibandingkan dengan luasan karhutla tahun lalu sebesar 385.224 hektare.
“Kami masih turun terus kok, terus dilakukan pemadaman,” ujarnya.
Kendati demikian, berdasarka monitoring hotspot satelit Terra Aqua hingga akhir Agustus 2019 jumlah hotspot sebanyak 8.495 titik. Jumlah tersebut terpantau mengalami kenaikan sebesar 17,6 persen atau jika dibandingkan dengan jumlah di tahun lalu.
Raffles meyakini, jumlah hotspot yang ada saat ini tak selalu menyulut karhutla asalkan tak ada campur tangan usaha manusia dalam merusak lingkungan. Menurut dia, hotspot hanya akan menjadi titik api atau firespot apabila terjadi kilatan petir setelah hujan.
“Artinya, ini kembali ke manusianya lagi gimana. Makanya kita lakukan pendekatan soft juga untuk mengedukasi di lapangan, bahwa karhutla ini jangan disulut gitu lho,” ujarnya.
Terkait dengan ada tidaknya hostpot di lahan-lahan konsesi, Raffles mengakui hal tersebut memang ada. Hanya saja, pihaknya menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya melakukan penindakan hukum yang tegas apabila lahannya sudah terbakar, jika baru sekadar hotspot intervensi yang bisa dilakukan hanya berupa pemeriksaan kesiapan tim pengendalian karhutla yang dimiliki setiap perusahaan.