Kamis 29 Aug 2019 07:11 WIB

Iuran BPJS Kesehatan Jadi Rp 160 Ribu, Anda Setuju?

BPJS Kesehatan sudah memperkirakan bakal ada kenaikan iuran per Januari 2020.

BPJS Kesehatan.
Foto: ANTARA FOTO
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak menyampaikan keberatan terhadap rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diusulkan Kementerian Keuangan. Mereka meminta pemerintah mengoptimalkan alternatif lain untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang belakangan terus membengkak.

"Kenaikannya cukup drastis, akan menimbulkan dampak baru secara sosial dan ekonomi juga. Ini harus dipikirkan oleh pemerintah," ujar Wakil Ketua Komisi IX Ichsan Firdaus dari Fraksi Golkar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (28/8).

Pemerintah, menurut Ichsan, harus mengkaji betul rencana tersebut agar tak menimbulkan masalah. "Harus dimitigasi oleh pemerintah," kata dia.

Guna mengatasi defisit yang terus naik, Ichsan mengusulkan BPJS untuk mendorong tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran. Sebab, menurut dia, tingkat kepatuhan masyarakat saat ini masih sekitar 54 persen.

Selain itu, BPJS Kesehatan didorong untuk lebih mengawasi perusahaan dalam melaporkan iuran karyawannya. Sebab, masih banyak perusahaan yang melakukan kecurangan terkait hal tersebut. "Walau itu domain pemerintah, tetapi kami, DPR, mengingatkan saja jangan sampai kebijakan itu memunculkan gejolak baru," ujar Ichsan.

Sedangkan, anggota Komisi IX DPR RI, Mafirion, dari Fraksi PKB mendesak pemerintah memperbaiki tata kelola program BPJS Kesehatan lebih dulu. "Kenaikan iuran akan percuma jika tidak diikuti dengan tata kelola kita sebagai badan pelayanan publik," ujar Mafirion, Rabu.

Menurut dia, salah satu penyebab defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan adalah tata kelola data peserta yang belum baik. Ia melihat masih banyak peserta yang tidak berhak menerima manfaat fasilitas tersebut. "Kita harus mendata dengan jelas siapa saja yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan dan ini harus diumumkan di setiap kelurahan dan kecamatan," ujar dia.

Pemerintah dan DPR rapat gabungan membahas soal tekornya anggaran BPJS Kesehatan, Selasa (27/8) kemarin. Dalam rapat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan skema kenaikan BPJS Kesehatan mencapai dua kali lipat dari iuran yang berlaku saat ini.

Iuran kelas mandiri I diusulkan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sedangkan, iuran kelas mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan.

Iuran kelas mandiri III diusulkan setara dengan penerima bantuan iuran (PBI), yaitu Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Jumlah ini naik Rp 16.500 dari iuran saat ini, yakni Rp 25.500 per bulan per orang. Usulan tersebut disampaikan sebagai bentuk upaya untuk mengatasi defisit yang terus melonjak.

Sri Mulyani mengatakan, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai Rp 32 triliun. Tanpa kenaikan iuran ini, Menkeu pesimistis keuangan BPJS Kesehatan dapat sehat. Ia bahkan memperkirakan, BPJS Kesehatan akan kembali tekor pada 2021 dan 2022 dan pemerintah harus menalanginya lagi.

Belum ada keputusan resmi dari Presiden soal situasi iuran dan dana talangan untuk BPJS Kesehatan ini. Namun, BPJS Kesehatan sudah memperkirakan bakal ada kenaikan iuran per Januari 2020.

Situasi tekornya BPJS Kesehatan memang merembet ke sektor lain, yakni pelayanan rumah sakit/fasilitas kesehatan dan perusahaan obat. Kedua pihak itu sudah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membahas jalan keluarnya. Sebab, ketiadaan anggaran untuk membayar tagihan rumah sakit dan tagihan perusahaan obat membuat kelimpungan pihak lain.

BPJS Kesehatan saat ini bekerja sama dengan perbankan BUMN untuk “menggadaikan” tagihannya dalam bentuk piutang. Dengan begitu, fasilitas kesehatan yang ingin tagihannya dibayar dapat mengalihkan tagihannya ke bank BUMN yang bersedia menalangi. Kemudian, bank BUMN yang akan menagihkannya ke BPJS Kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement