Rabu 28 Aug 2019 05:46 WIB

Iuran BPJS Kesehatan Diusulkan Naik Dua Kali Lipat

Iuran BPJS Diusulkan dua kali lipat

Rep: Adinda Priyanka/ Red: Muhammad Subarkah
Sri Mulyani
Foto: ANTARA
Sri Mulyani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan usulan kenaikan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan untuk setiap kelas. Iuran yang diusulkan Kemenkeu tersebut lebih tinggi dari yang digadang-gadang Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Dalam skema kenaikan Kemenkeu yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani kemarin, kenaikan yang diusulkan mencapai dua kali lipat dari iuran yang berlaku saat ini. Untuk iuran kelas mandiri I diusulkan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sementara, kelas mandiri II dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan.

Pada kelas mandiri III diusulkan setara dengan penerima bantuan iuran (PBI), yaitu Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Jumlah ini naik Rp 16.500 dari iuran saat ini, yakni Rp 25.500 per bulan per orang.

Besaran kenaikan yang diusulkan Sri lebih juga besar dibandingkan usulan versi DJSN, yakni Rp 75 ribu dan Rp 120 ribu untuk kelas mandiri II dan kelas mandiri I. Sementara itu, usulan untuk kelas mandiri III versi Kemenkeu dengan DJSN masih sama, yaitu RP 42 ribu. Nominal ini berlaku untuk tiap jiwa per bulannya.

Sri Mulyani menekankan, kenaikan tarif ini menjadi upaya untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang terus naik. Menurut DJSN, defisit BPJS Kesehatan tahun ini diprediksi menyentuh Rp 28,3 triliun. "Posisi di 2019, BPJS telah sampaikan surat ke kami bahwa tahun ini akan defisit sebesar itu," ucapnya dalam rapat kerja gabungan Komisi XI dan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (27/8).

Jumlah defisit itu tertuang dalam Rencana Kegiatan Anggaran dan Tahunan (RKAT). Namun, Sri menambahkan, nilai defisit yang lebih besar disampaikan di luar RKAT. Muncul estimasi baru bahwa BPJS akan mengalami defisit hingga Rp 32,8 triliun sampai akhir 2019.

Apabila jumlah iuran tetap sama, sementara target peserta dan proyeksi manfaat maupun rawat inap tetap, Sri khawatir isu defisit tidak akan pernah terselesaikan. Sebab, faktor permasalahan utama saat ini adalah iuran BPJS yang underprice alias di bawah nilai aktuaria. "Sekarang persoalannya gimana kita koreksi berdasarkan kondisi dari iuran tersebut," ucap dia.

Sri mengatakan, kenaikan nominal yang diusulkan DJSN memang akan menyelamatkan BPJS Kesehatan, tetapi hanya berlaku satu tahun. Itu pun dengan asumsi bahwa seluruh tagihan yang “bolong” pada 2019 sudah dilunasi. "Jadi, yang defisit Rp 32,8 triliun itu sudah tertutup dulu, baru kenaikan iuran ini bisa membantu BPJS tahun 2020, tapi 2021 dan 2022 akan kembali defisit," tuturnya.

Dalam program JKN, Sri mengatakan, seharusnya iuran peserta ditinjau setiap dua tahun sekali. Hanya saja, program JKN Indonesia kerap dikaitkan secara politis sehingga kebijakannya kerap tertunda sehingga isu kenaikan iuran tidak diimplementasikan dengan benar.

Sri menyebutkan, iuran kini menjadi masalah yang sangat sensitif dan terus dipikirkan pemerintah. Di satu sisi, JKN harus bersifat berkelanjutan, di sisi lain, pemerintah tidak ingin beban masyarakat terlalu besar. “Jangan sampai program ini harus membuat satu pihak berkorban lebih besar,” katanya.

Sri Mulyani mengusulkan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan bagi peserta PBI yang iurannya ditanggung pemerintah dapat dimulai pada Agustus ini. “Pemerintah pusat akan menanggung ini sejak Agustus sampai nanti tahun 2019 selesai,” ujar Menkeu.

Selain itu, Sri menambahkan, pemerintah pusat juga akan menalangi beban pemerintah daerah yang harus membayarkan iuran PBI di tingkat daerah. Totalnya adalah 37 juta jiwa dengan usulan besaran kenaikan yang sama, yakni dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu per jiwa per bulan.

Sri menuturkan, talangan pemerintah pusat kepada pemda itu berlaku hingga akhir tahun ini. Per Januari 2020, pemda harus membayarnya sendiri melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing. "(Dengan bantuan pemerintah pusat) APBD jadi tidak perlu berubah," tuturnya.

Sementara itu, Sri mengusulkan, iuran peserta di luar tanggungan pemerintah baru dinaikkan mulai Januari 2020. Sisa waktu hingga akhir tahun 2019 dapat dimanfaatkan pihak DJSN ataupun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Sri juga mengajukan perubahan ketentuan iuran terhadap TNI, Polri, dan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pusat atau yang tergabung dalam Peserta Penerima Upah (PPU) Pemerintah. Ia mengusulkan, iuran yang semula berbasiskan sebesar lima persen dari penghasilan tetap menjadi basis lima persen dari penghasilan mereka secara total. "Termasuk di dalamnya adalah tukin (tunjangan kinerja)," ucapnya.

Namun, Sri menekankan, kelompok tersebut tetap memiliki batasan maksimum, yakni Rp 12 juta. Artinya, setiap anggota TNI, Polri, dan ASN Pusat hanya dikenakan iuran paling tinggi adalah Rp 600 ribu per jiwa per bulan. Dari total itu, empat persen di antaranya akan ditanggung oleh pemerintah pusat, sedangkan sisanya dibayar pribadi masing-masing. Sri mengusulkan, perubahan basis terhadap iuran TNI, Polri, dan ASN Pusat ini mulai berlaku pada awal Oktober.

Menurut Menkeu, talangan kenaikan iuran PBI hingga akhir tahun akan mengalirkan dana senilai Rp 9,2 triliun untuk BPJS Kesehatan. Sementara, talangan beban pemda oleh pemerintah pusat akan memberikan suntikan dana hingga Rp 3,34 triliun.

"Sisanya didapatkan dari kenaikan basis ASN (pusat), TNI, dan Polri yang akan naik Oktober," kata Sri. Apabila ketiga skenario ini diberlakukan, Sri memperkirakan BPJS Kesehatan akan mendapat suntikan dana tambahan sebanyak Rp 13,56 triliun sampai akhir tahun. Dana tersebut akan bertambah apabila diiringi dengan bauran kebijakan yang direkomendasikan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilaksanakan BPJS Kesehatan.

Secara total, Sri menyebutkan, BPJS Kesehatan berpotensi mendapatkan Rp 18,57 triliun. Jumlah ini mampu menutupi setidaknya setengah dari estimasi defisit BPJS Kesehatan yang disampaikan DJSN ke Kemenkeu, yakni Rp 32,84 triliun. Sri mengatakan, skenario tersebut akan lebih efektif dibandingkan injeksi “gelondongan” yang selama ini sudah dilakukan Kemenkeu.

Dalam rapat kemarin, sejumlah anggota dewan juga mempertanyakan kenaikan iuran yang diusulkan Kemenkeu tersebut. "Kami hanya ingin mengetahui untuk rasionalisasi angkanya," ujar anggota Komisi XI DPR dari Partai Golkar Misbakhun.

Misbakhun menuturkan, dasar yang rasional juga harus disampaikan Kemenkeu dan DJSN mengingat kemungkinan respons yang terjadi di masyarakat akan berbeda. "Penentuan angka paling ideal harus jadi perhatian kita semua," tutur anggota DPR dari Jawa Timur ini. Di sisi lain, Misbakhun menambahkan, kenaikan iuran ini juga harus diiringi dengan perbaikan kelemahan sistem JKN secara keseluruhan.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS Ansory Siregar menyampaikan kurang setuju dengan usulan menaikkan iuran. Sebab, dengan nominal saat ini saja, masih banyak peserta yang tidak melaksanakan kewajiban mereka. Ansory mengajak pemangku kepentingan untuk mencari alternatif solusi lain secara bersama-sama agar iuran tidak naik. n ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement