Selasa 20 Aug 2019 19:13 WIB

Penurunan Subsidi Energi Berpotensi Tingkatkan Pengangguran

Pengurangan subsidi energi akan berdampak terhadap penurunan output agregat.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memasang jaringan di tiang listrik baru di kawasan Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Selasa (8/1). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bagi konsumen listrik subsidi dan non-subsidi pada triwulan I 2019.
Foto: Iggoy El Fitra/Antara
Pekerja memasang jaringan di tiang listrik baru di kawasan Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Selasa (8/1). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bagi konsumen listrik subsidi dan non-subsidi pada triwulan I 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyebutkan, penurunan besaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 menunjukkan bukti bahwa subsidi selama ini menjadi beban. Khususnya pada periode 2018 hingga 2019. 

Rizal mengatakan, kondisi tersebut patut menjadi perhatian. Sebab, subsidi energi merupakan stimulus ekonomi dalam bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan untuk sektor energi kepada masyarakat.

Baca Juga

"Tujuannya, agar lebih memberikan produktivitas ekonomi yang lebih baik," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (20/8). 

Rizal menyebutkan, pengurangan subsidi energi ini akan berdampak terhadap penurunan jumlah output agregat. Dalam jangka pendek, dampaknya sebesar 0,01 persen. Sedangkan, untuk jangka panjang, dampak penurunannya dapat mencapai 0,33 persen. 

Penurunan jumlah output agregat ini akan menyebabkan penurunan penyerapan jumlah tenaga kerja dalam jangka pendek sebesar 0,74 persen dan jangka panjang sebesar 0,22 persen. Dampak selanjutnya, akan mendorong bertambahnya orang yang tidak bekerja atau pengangguran. 

Rizal mengatakan, hal ini berimplikasi terhadap tingkat pengangguran yang akan mendorong semakin sulitnya menurunkan angka kemiskinan. "Baik jangka pendek maupun jangka panjangnya," ujarnya. 

Selain itu, penurunan jumlah output agregat tadi akan berdampak terhadap iklim investasi. Di mana dalam jangka pendek akan turun sebesar 0,67 persen dan sebesar 0,54 persen dalam jangka panjang. Artinya dengan penurunan subsidi pada tahun 2020 sebesar empat persen dari tahun 2019 berdampak terhadap penurunan investasi. 

Oleh karena itu, Rizal menjelaskan, pemerintah perlu hati-hati dalam menurunkan subsidi ini, sehingga perlu realokasi subsidi energi secara tepat. Realokasi tersebut harus mampu mendorong dan menumbuhkan produktivitas sektoral atau industri, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

"Khususnya, industri yang berorientasi pasar ekspor," katanya. 

Dalam RAPBN 2020, pemerintah menetapkan besaran subsidi energi adalah Rp 137,5 triliun. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi 2019 yang mencapai Rp 142,6 triliun maupun besaran dalam APBN 2019 yang sebesar Rp 159,97 triliun.

Dari total Rp 137,5 triliun, sebanyak Rp 75,3 triliun ditujukan untuk subsidi BBM dan LPG. Angka tersebut turun dibanding dengan proyeksi sampai akhir tahun ini, Rp 90,3 triliun. 

Sisanya, Rp 62,2 triliun ditujukan untuk subsidi listrik. Angka ini lebih tinggi dibandingkan proyeksi realisasi sampai akhir tahun ini, Rp 52,3 triliun. Adinda Pryanka 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement