Selasa 20 Aug 2019 04:30 WIB

DPR Beri Catatan untuk RUU Pertanggungjawaban APBN 2018

RUU ini akan dibahas ke rapat paripurna.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Suasana Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Kementerian  Keuangan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanggungjawaban atas  Pelaksanaan APBN 2018 di Ruang Rapat Banggar DPR, Jakarta, Senin (19/8).  Hasilnya, RUU akan dibahas lanjut di Rapat Paripurna, Selasa (20/8).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Suasana Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Kementerian Keuangan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN 2018 di Ruang Rapat Banggar DPR, Jakarta, Senin (19/8). Hasilnya, RUU akan dibahas lanjut di Rapat Paripurna, Selasa (20/8).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) pada Senin (19/8) siang menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN 2018. Selanjutnya, RUU ini akan dibahas ke rapat paripurna pada Selasa (20/8). Sejumlah catatan kritis diberikan kepada pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Salah satu poin yang banyak ditekankan legislatif adalah melesetnya realisasi dari target awal APBN 2019. Khususnya pertumbuhan ekonomi yang semula ditargetkan mencapai 5,4 persen, namun hanya mencapai 5,17 persen.

Baca Juga

Sungkono dari Fraksi PAN menyebutkan, melesetnya realisasi dari target tersebut memang banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal global yang dipenuhi ketidakpastian pada 2018. "Tapi, rakyat tetap berhak untuk bertanya dan menagih janji pemerintah," tuturnya di Ruang Rapat Banggar DPR, Jakarta.

Sungkono menyebutkan, pemerintah juga belum berhasil merealisasikan kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Tercatat, realisasi rata-rata nilai tukar pada 2018 adalah Rp 14.247 per dolar AS, lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN yang hanya sebesar Rp 13.441 per dolar AS. Poin lain yang juga meleset adalah Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan, lifting minyak dan gas bumi.

Sungkono menjelaskan, gejolak nilai rupiah dan kenaikan suku bunga di tingkat Bank Sentral Amerika Serikat (AS) berkontribusi atas kondisi tersebut. Dampaknya, terjadi outflow atau aliran dana asing yang keluar dari Indonesia. "Oleh karenanya, pemerintah harus tingkatkan waspada terhadap kondisi ekonomi politik regional maupun global yang terjadi hingga saat ini," katanya.

Sungkono juga mengingatkan pemerintah akan realisasi belanja subsidi yang melampaui target. Realisasi belanja subsidi tahun lalu sebesar Rp 216 triliun, melebihi pagu anggaran yang ditetapkan APBN sebesar Rp 156 triliun. Penyebabnya, pembayaran utang subsidi tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp 25 triliun. Selain itu, realisasi nilai Indonesian Crude Price (ICP) Tahun 2018 sebesar 67,5 per barrel dolar AS, lebih tinggi dibandingkan dengan asumsi APBN sebesar 48 per barrel dolar AS.

"Untuk itu, pemerintah perlu membuat rangkaian program pembangunan yang terencana dan terintegrasi baik," tutur Sungkono.

Di sisi lain, Muslim dari Fraksi Demokrat meminta pemerintah juga lebih bijak dalam mengalokasikan anggaran untuk mewujudkan Indonesia sejahtera. Termasuk melalui Financial Safety Net (FSN) atau Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dengan tetap memperhatikan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Muslim menuturkan, APBN yang dipandang sebagai instrumen terpenting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pihaknya meminta agar pemerintah tetap memprioritaskan program pro rakyat melalui Khususnya yang bertujuan mengentaskan kemiskinan dan menekan gini ratio dalam rangka mengurangi pengangguran. "Kami ingatkan agar pemerintah ke depannya juga lebih cermat," tuturnya.

Sementara itu, Andi Akmal dari PKS menekankan urgensi perbaikan kinerja penerimaan negara, baik dari perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat ini, ia menilai, struktur penerimaan negara cenderung rentan karena banyak bergantung pada harga komoditi yang memiliki tingkat volatilitas tinggi terhadap gejolak ekonomi global.

Andi menegaskan, pemerintah tidak boleh bergantung pada Sumber Daya Alam (SDA) secara terus menerus. Pemerintah perlu mengoptimalkan pengelolaan barang milik negara (BMN). "Sehingga dapat mendorong penerimaan secara nasional," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement