Jumat 16 Aug 2019 20:14 WIB

Indef: Asumsi Makro Tunjukkan Ekonomi Tahun Depan Stagnan

Asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah berada pada kisaran 5,3 persen.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2019 melandai akibat kinerja ekspor yang turun.
Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara
[ilustrasi] Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2019 melandai akibat kinerja ekspor yang turun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai, kondisi perekonomian Indonesia masih akan stagnan pada 2020 atau tidak jauh lebih baik dibandingkan tahun ini. Prediksi tersebut terlihat dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah berada pada 5,3 persen. Tingkat tersebut tidak beranjak dari target pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Meski besaran targetnya sama, Rizal menyebutkan, pemerintah masih memiliki tantangan besar tersendiri dalam mencapai target tersebut. Terlebih, pemerintah hanya mengandalkan konsumsi dan investasi sebagai motor penggerak utamanya.

"Padahal, kedua indikator tersebut kini (kuartal kedua 2019) masih belum memberikan sinyal yang lebih baik sesuai yang diharapkan," tuturnya dalam diskusi daring Indef, Jumat (15/8).

Rizal memberikan contoh, target investasi masih belum memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal kedua. Termasuk juga daya beli yang perlu ditingkatkan lagi agar konsumsi masyarakat semakin meningkat. Tingkat inflasi, terutama terhadap volatile food, juga patut diperhatikan mengingat gejolaknya yang terbilang dinamis.

Selain faktor pertumbuhan ekonomi, Rizal menambahkan, pekerjaan rumah pemerintah yang tidak kalah besar adalah nilai tukar rupiah. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, pemerintah mengasumsikan di kisaran Rp 14.400 per dolar AS.

Rizal memprediksi, kondisi nilai tukar tersebut akan tidak mudah dikendalikan. Kondisi eksternal yang masih dibayangi oleh ketidakpastian dan perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina akan sangat berdampak terhadap ketercapaian target asumsi ini.

"Termasuk dalam hal ini perlu kebijakan moneter yang kondusif," tuturnya.

Dampaknya, Rizal menambahkan, tentu akan dirasakan pada aliran investasi atau capital inflow yang belum dapat dijamin masuk ke dalam negeri. Untuk mengatasinya, pemerintah harus menjaga persepsi dan sentimen pasar terhadap perbaikan iklim investasi yang positif serta kondusif.

Sementara itu, asumsi terhadap harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) yang diperkirakan 65 dolar AS per barrel masih bersifat sulit diprediksi. Rizal menyatakan, harga minyak mentah dunia sangat elastis yang dipengaruhi oleh dinamika global. Oleh karena itu, asumsi ini sangat rentan berubah seiring dengan risiko ekonomi global dan volatilitasnya.

Tantangan yang tidak kalah berat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi adalah lifting minyak bumi dan gas bumi. Pemerintah memprediksi, target keduanya pada 2020 masing-masing sebesar 734 ribu barel per hari dan 1,19 juta barel setara minyak per hari. Angka tersebut menurun dibanding dengan target pada APBN 2019, yakni 775 ribu barel per hari untuk lifting minyak bumi dan 1,25 juta barel setara minyak per hari untuk lifting gas bumi.

Rizal menuturkan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa kontribusi asumsi ini sangat berat dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Salah satu penyebabnya, investasi yang masih belum memberikan kontribusi dalam usaha di sektor hulu migas.

"Perlu upaya yang lebih besar dan konkrit terhadap aktivitas investasi tersebut untuk menjaga keberlanjutan produksinya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement