REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menilai, belanja pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU) masih kurang berkualitas. Sebab, masih ada pemerintah daerah (pemda) yang menggunakan DAU untuk menanggung biaya operasional seperti belanja pegawai.
Bambang menyebutkan, DAU yang ditetapkan minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri tersebut seharusnya ditujukan untuk kegiatan daerah atau pembangunan di daerah masing-masing. "Ide awal kita, ini (DAU) satu paket program untuk prioritas mereka (pemda)," ujarnya dalam acara seminar nasional di kantornya, Jakarta, Senin (12/8).
Dengan kondisi tersebut, wajar apabila kontribusi DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan setiap daerah bervariasi. Berdasarkan kajian Bappenas, DAU mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di 80 provinsi di Indonesia, seperti Jambi (0,56 persen) dan Jawa Tengah (0,52 persen). Di sisi lain, Kalimantan Timur dan Riau justru mengalami kontraksi masing-masing 0,1 persen.
Selain itu, DAU juga meningkatkan ketimpangan di sejumlah daerah. Di antaranya Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan Sumatera Selatan dengan peningkatan indeks ketimpangan masing-masing 0,39 poin, 0,07 poin dan 0,01 poin.
Bambang menjelaskan, kondisi tersebut patut menjadi perhatian. Sebab, DAU seharusnya berfungsi mengurangi ketimpangan horizontal antardaerah. "Baik antar provinsi maupun antar kabupaten dalam satu provinsi," ucapnya.
Bambang menekankan, DAU tidak boleh dibaca hanya sebagai biaya operasional pemerintahan. DAU merupakan transfer langsung dari pemerintah pusat ke daerah agar pemda dapat melakukan pembangunan di daerahnya.
Apabila pemerintah pusat ingin 'turun tangan' lebih dalam, Bambang mengusulkan untuk membuat berikan pembatasan persentase DAU yang dapat digunakan untuk belanja rutin pemda. Atau, seberapa persen minimal dari DAU itu untuk belanja yang sifatnya pembangunan.
"Itu lebih baik," tuturnya.
Di sisi lain, Bambang menilai dibutuhkan peningkatan anggaran dana alokasi khusus (DAK) agar dana yang ditransfer pemerintah pusat ke pemda dapat efektif memberikan dampak di daerah. Sebab, DAK memiliki sifat yang lebih tepat sasaran dibandingkan DAU. Misal, untuk program pembangunan irisasi pertanian di suatu kabupaten atau jalan kabupaten.
Dalam kajian Bappenas, terlihat bahwa satu persen peningkatan DAK berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 0,12 persen dan penurunan ketimpangan di daerah hingga 0,08 poin.
Saat ini, Bambang menggambarkan DAK seperti anak tiri karena besarannya tergantung pada ‘sisa’ anggaran pemerintah pusat. Kondisi ini berbeda dengan DAU yang sudah memiliki rumusan jelas dan dana bagi hasil yang tergantung pada produksi kehutanan dan sebagainya.
"Mudah-mudahan kajian ini memberikan perspektif baru pada DAK, sehingga dapat lebih tingkatkan pertumbuhan ekonomi," katanya.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Benedictus Raksaka Mahi menjelaskan, kajiannya memperlihatkan bahwa alokasi DAK sangat mempengaruhi perbaikan efisiensi belanja pemda. Sedangkan, besarnya alokasi DAU, DBH, pajak daerah dan retribusi daerah tidak memberikan pengaruh signifikan.
Perbaikan efisiensi belanja pemda terutama terlihat setelah adanya perubahan kebijakan DAK pada 2016. Saat itu, penyaluran yang semula dilakukan gelondongan dari pagu alokasi per daerah diubah menjadi penyaluran per bidang.
"Pemerintah pusat juga memberikan syarat pemda harus memberikan laporan realisasi kuartal pertama dan kedua dulu dengan tingkat serapan minimal 75 persen sebelum DAK di kuartal ketiga dicairkan," ujar Mahi.
Perubahan kebijakan tersebut menyangkut dua hal penting. Pertama, Mahi menjelaskan, segi jumlah yang meningkat signifikan. Kedua, dari segi tata cara penyaluran yang lebih berbasis kinerja.