Senin 05 Aug 2019 14:18 WIB

Industri Pertambangan Turun 1,70 Persen

Kontribusi industri pertambangan terhadap PDB turun menjadi 7,39 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2019 melandai akibat kinerja ekspor yang turun.
Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara
Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2019 melandai akibat kinerja ekspor yang turun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hampir seluruh sektor lapangan usaha menghadapi laju pertumbuhan positif pada kuartal kedua. Hanya ada satu lapangan usaha yang kontraksi, yakni pertambangan dan penggalian dengan kontraksi hingga 1,70 persen. 

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, angka tersebut menurun signifikan dibanding dengan kuartal pertama 2019 yakni 2,65 persen. Penyebab kontraksi adalah adanya penurunan produksi pertambangan bijih logam serta minyak gas dan panas bumi. 

Baca Juga

"Masing-masing turun 25,93 persen dan 4,11 persen," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (5/8).

Kontribusi industri pertambangan dan penggalian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga mengalami penurunan. Pada kuartal kedua tahun lalu, sumbangannya adalah 7,77 persen, sedangkan periode yang sama di tahun ini menjadi 7,38 persen. 

Sementara itu, Industri pengolahan masih menjadi kontribusi terbesar terhadap terhadap PDB. Hanya saja, besarannya mengalami perlambatan dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Sementara sumbangannya pada kuartal kedua 2018 19,80 persen, kuartal kedua tahun ini hanya 19,52 persen. 

Suhariyanto mengatakan,  penurunan kontribusi tersebut disebabkan oleh pertumbuhan industri pengolahan yang melambat. "Dari 3,88 persen di kuartal kedua tahun lalu menjadi 3,55 persen pada tahun ini," ujarnya. 

Perlambatan tersebut disebabkan oleh industri batu bara dan penggilangan migas yang mengalami kontraksi 0,25 persen. Meski lebih membaik dibanding dengan kuartal lalu, minus 4,19 persen, angka itu jauh melambat dibandingkan kuartal kedua 2018, yakni 0,59 persen. Suhariyanto mengatakan, penyebabnya produksi BBM dan LNG yang tumbuh negatif. 

Sementara itu, dari sisi industri nonmigas, terdapat dua sektor yang mengalami kontraksi. Pertama, industri alat angkutan dengan angka minus 3,73 persen dan industri karet, barang karet dan plastik, yaitu minus 7,22 persen. Penyebabnya, penurunan permintaan luar negeri dan domestik. 

Sebaliknya, ada beberapa industri yang mengalami pertumbuhan bagus. Di antaranya tekstil dan pakaian jadi yang tumbuh 20,71 persen yang disebabkan peningkatan produksi di beberapa sentra. Selain itu, industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman, 12,49 persen. 

Kondisi melambat juga dialami di sektor perdagangan, yaitu dari 5,52 persen pada tahun lalu menjadi 4,63 persen di tahun ini. Suhariyanto mengatakan, penurunan tersebut karena industri pengolahan yang melambat dan kontraksi terhadap impor barang konsumsi. 

Berbeda dengan industri pengolahan dan perdagangan, pertanian justru mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDB. Pada kuartal kedua 2018, kontribusinya 12,65 persen dan meningkat menjadi 13,57 persen pada kuartal kedua ini. "Sebab, terjadi pergeseran musim tanam dari tahun lalu," kata Suhariyanto. 

Secara year on year, pertumbuhan industri pertanian tumbuh 5,33 persen. Angka ini membaik dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yaitu 4.72 persen. Bahkan, dibanding dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional kuartal kedua yang hanya 5,05 persen, angka industri pertanian terbilang tumbuh baik. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement