REPUBLIKA.CO.ID,
Konsultasi Ekonomi Syariah dengan Ustaz DR Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
Assalamualaikum wr wb.
Bagaimana pandangan syariah terkait paylater? Di mana konsumen berkesempatan untuk membeli barang atau memanfaatkan jasa dan layanan, sementara pembayaran di akhir sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
Hamzah-Aceh
Waalaikumussalam wr wb.
Pertama, paylater adalah metode pembayaran dengan menggunakan dana talangan dari perusahaan aplikasi terkait, kemudian pengguna membayar tagihannya ke perusahaan aplikasi. Fitur paylater memberikan konsumen kesempatan untuk memanfaatkan jasa dan layanan, sementara mereka membayar di akhir sesuai batas waktu yang diberikan.
Kedua, prinsip dasarnya, paylater adalah fitur dan produk yang netral dan bermanfaat bagi pengguna pada khususnya. Misalnya, pengguna yang ingin membeli barang atau melakukan perjalanan, tetapi tidak memiliki uang tunai, dapat menggunakan fitur ini, sehingga transaksinya bisa dilakukan secara online. Apabila kebutuhan tersebut adalah kebaikan, kehadiran fitur ini memudahkan orang untuk menunaikan kebaikan.
Ketiga, penerbit tidak memberikan fasilitas untuk transaksi yang bertentangan dengan syariah. Di antaranya, jasa atau barang yang dijual oleh toko melalui fitur paylater, halal dan legal. Begitu pula tidak mendorong konsumerisme dengan cara, antara lain, menetapkan pagu maksimal pembelanjaan. Pengguna fitur juga memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
Keempat, terhindar dari transaksi ribawi dan transaksi terlarang lainnya. Oleh karena itu, penerbit paylater tidak menjadi kreditor yang mendapatkan keuntungan berupa bunga atas pinjaman kepada pengguna. Di antaranya dengan mengubah fungsi penerbit aplikasi dari kreditor menjadi penjual barang atau jasa. Singkatnya, keuntungan perusahaan adalah fee jasa atau margin jual beli dan bukan bunga atas pinjaman (qardh).
Misalnya, membeli makanan berdasarkan pesanan dengan harga tertentu, kemudian dijual dengan harga lebih tinggi secara tidak tunai. Atau, membeli tiket berdasarkan pesanan konsumen dengan harga tertentu dan dijual secara tidak tunai dengan harga lebih tinggi, sehingga keuntungan penjual tersebut adalah margin yang halal dari transaksi tidak tunai.
Di antaranya, dengan mengenakan fee penjaminan penerbit terhadap toko atas semua kewajiban bayar yang timbul dari transaksi antara konsumen dengan toko. Atas pemberian kafalah, penerbit dapat menerima fee.
Kelima, sesuai dengan peraturan perundangan, di antaranya, mendapatkan penegasan kesesuaian syariah dari regulator serta otoritas fatwa di Indonesia (DSN MUI), sehingga memberikan kenyamanan kepada konsumen karena telah mendapatkan legitimasi.
Rambu-rambu dan kesimpulan tersebut didasarkan pada landasan dan dalil berikut, di antaranya, larangan transaksi ribawi sebagaimana kaidah, "Setiap utang piutang yang memberikan manfaat (kepada kreditor) adalah riba, jika dipersyaratkan."
Begitu pula bolehnya fee penjaminan penerbit aplikasi sesuai dengan pendapat Musthafa al-Hamsyari bahwa penjaminan dengan imbalan atas jasa kewibawaan (dignity) atau didasarkan pada ju'alah yang dibolehkan dalam mazhab Syafi’i. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh 'Athiyah Shaqr, "Adapun dhaman dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah yang menurut mazhab Syafi'i hukumnya boleh walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman dengan imbalan pada ju'alah yang dibolehkan oleh mazhab Syafi'i."
Sebagaimana hadis Rasulullah, "Tinggalkan yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." (HR Tirmidzi).
Sebagaimana juga Fatwa DSN MUI No 54/2006 tentang Syariah Card dan keputusan Lembaga Fikih OKI No. 51 (2/6) 1990 yang memperkenankan harga jual tidak tunai lebih tinggi daripada harga tunai. Wallahu a'lam.