Sabtu 20 Jul 2019 05:30 WIB

Indef: APBN Perubahan Solusi Atasi Defisit BPJS Kesehatan

Iintervensi APBN untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan bukan perkara mudah

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
BPJS Kesehatan.
Foto: Republika/Yasin Habibi
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menilai, solusi paling efektif dan tepat untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 9,1 triliun hingga akhir 2018 adalah intervensi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Upaya tersebut dinilainya sebagai usaha paling elegan, mengingat BPJS merupakan kebijakan dari pemerintah yang sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

Eko menilai, intervensi APBN untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan memang bukan perkara mudah. Sebab, mekanismenya membutuhkan APBN Perubahan (APBN-P) terhadap tahun anggaran 2019 ini.

Baca Juga

Hanya saja, upaya tersebut lebih efektif dibanding dengan harus mencari talangan dari sumber lain. "Misal, dalam bentuk penyertaan modal atau suntikan, tapi tetap harus lahir dari dana pemerintah (APBN)," ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (19/7).

Apabila melibatkan pihak lain, Eko menyebutkan, rasanya akan kurang tepat. Termasuk apabila BPJS Kesehatan atau pihak pemerintah lainnya ingin melibatkan bank BUMN untuk menalang atau meminjam dana guna menutupi defisit.

Secara aspek, Eko menuturkan, BUMN merupakan sebuah entitas bisnis. Apabila beban diberikan kepada BUMN, akan menimbulkan masalah terhadap ketertarikan masyarakat untuk terlibat dengan pihak BUMN tersebut.

"Dalam hal ini, mereka akan malas untuk menabung di bank itu karena mereka berpikir talangan ini akan berdampak pada kesehatan perbankan itu sendiri," tuturnya.

Apabila defisit semakin besar, akan menimbulkan kerugian bagi perbankan. Eko menuturkan, hasil pinjaman bunga yang diterima perbankan apabila memberikan pinjaman kepada BPJS tidak akan besar. Otomatis, dampaknya, tingkat keuntungan mereka juga turun. Nasabah pun akan berpikir dua kali untuk menabung di bank tersebut mengingat keuntungan yang diterima lebih kecil dibandingkan swasta.

Apalagi, Eko menekankan, sifat pinjaman tersebut tidak berdasarkan market mengingat sifatnya yang mandatory (kewajiban), bukan voluntary. Jika mandatory, berarti bunga dan aspek perbankan lainnya tidak berbasiskan keinginan maupun kebutuhan pasar, melainkan arahan dari pemerintah. Di sisi lain, perbankan juga harus mengejar laba.

Eko menambahkan, saham bank BUMN memang mayoritas dipegang oleh pemerintah. Tapi, sebesar 40 persen di antaranya juga sudah dipegang oleh publik karena mereka telah bersifat terbuka (Tbk). Artinya, apabila bank BUMN memberikan pinjaman lunak kepada BPJS kesehatan, ‘persentase’ keuntungan dan setoran mereka untuk industri riil dan masyarakat akan berkurang. "Sebab, mereka harus mengalihkannya ke defisit BPJS," katanya.

Untuk jangka panjang, Eko menambahkan, pemerintah sebaiknya memperbaiki sejumlah aspek terhadap regulasi BPJS Kesehatan yang selama ini dinilai terlalu rigid. Fleksibilitas harus menjadi prioritas mengingat pemasukannya terlalu kecil sehingga defisit selalu menjadi permasalahan instansi ini tiap tahun.

Salah satu contohnya adalah andil sumber investasi lain dan tidak bergantung pada Surat Utang Negara (SUN) ataupun Surat Berharga Negara (SBN). Nilai dari kedua instrumen ini terbilang kecil, sehingga penerimaan tidak optimal, sedangkan pengeluaran terus membengkak. "Kalau APBN punya ruang fiskal, BPJS juga harus punya ruang investasi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement