REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah pusat memutuskan untuk memangkas alokasi anggaran pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020. Pemerintah memproyeksikan pemangkasan anggaran pendidikan kurang dari Rp 1 triliun dari jumlah anggaran tahun sebelumnya.
"Tidak ada (penambahan anggaran), malah kurang. Kecil sih pengurangannya, tidak sampai Rp 1 triliun," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy setelah menghadiri rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kantor Presiden, Senin (15/7).
Kendati demikian, kata Muhadjir, alokasi anggaran transfer daerah untuk fungsi pendidikan mengalami kenaikan. Pemangkasan anggaran dan penambahan transfer ke daerah ini, kata dia, dilakukan demi memastikan dana yang diberikan tepat sasaran dan tidak `bocor'.
Menurut dia, pemangkasan anggaran terjadi untuk pos yang sebelumnya adalah bantuan afirmasi ke sekolah-sekolah. Tak hanya itu, anggaran revitalisasi sekolah yang sebelumnya diserahkan kepada Kemendikbud kini dibagi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Dia mengatakan, revitalisasi berat dilakukan Kementerian PUPR, sedangkan revitalisasi ringan tetap di bawah Kemendikbud. Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini menyebut, Kemendikbud akan fokus merevitalisasi SMK pada 2020 sebanyak 73 sekolah.
"Untuk vokasi ada Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan), Kemenperin (Kementerian Perindustrian), sesuai dengan Inpres Nomor 75 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK," kata Muhadjir.
Khusus vokasi, Kemendikbud secara khusus akan menangani pengadaan guru berkeahlian. Presiden meminta ada empat sektor yang akan digarap, yakni SMK pariwisata, kelautan, ekonomi kreatif, dan pertanian produktif.
Presiden Jokowi mengatakan, penyusunan RAPBN 2020 diprio ritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia baik melalui pendidikan, kesehatan, dan pelatihan-pelatihan. RAPBN, menurut dia, harus mampu beradaptasi terhadap suasana global yang makin dinamis. "Pendidikan yang diberikan pun juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan industri. Kita jaga dengan sehat, inklusif, dan memperkuat daya saing kita," ujar dia.
Pengamat Pendidikan dari Center of Education, Regulation, and Development Analysis Indra Charismiadji menilai, hal yang seharusnya ditekankan Presiden untuk mewujudkan program di bidang pendidikan adalah memperbaiki koordinasi para pemangku kepentingan. Selama ini dalam pembangunan manusia antarkementerian dan lembaga masih saling tumpang-tindih.
Saat ini, urusan pendidikan tidak ada leading sector. "Masyarakat berpikir bahwa semuanya ada dalam ken dali Kemendikbud. Namun, faktanya Kemendikbud tidak memiliki wewenang dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dasar dan menengah," kata Indra.
Dia mengatakan, selama ini Kementerian Agama memiliki garis komando dengan madrasah. Pemerintah provinsi memiliki garis komando dengan SMA dan SMK. Selain itu, untuk SD dan SMP dikomando oleh pemerintah kota/kabupaten.
Selama ini, lanjut dia, banyak sekali kekacauan yang terjadi karena minimnya sinkronisasi dan koordinasi antarinstansi soal kurikulum dan tata kelola guru. Bahkan, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi tahun ini masih bermasalah walaupun sudah berjalan sejak 2017.
Indra menambahkan, banyak kementerian yang memiliki program vokasi, mulai dari Kemenperin, Kemen terian Pariwisata, Kemenaker, Kementerian Komunikasi dan Informatika, hingga Kementerian Kesehatan.
"Di Kemenkominfo ada program bea siswa untuk sekolah coding, demikian juga di Kemendikbud. Seharusnya mereka kolaborasi, bukan jalan sendiri-sendiri," kata Indra.
Dari sekian banyak program vokasi, tidak terlihat yang mengurusi demandatau permintaan. Menurut Indra, semuanya sibuk mengurusi supplydan melakukan pelatihan-pelatihan. Padahal, di Indonesia saat ini masih memiliki masalah demand dengan 7 juta penganggur.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan, dalam pendidikan vokasi, yang pertama harus diperhatikan adalah tersedianya guru mata pelajaran produktif berkualitas tinggi. Dia menilai, selama ini guru SMK tidak memiliki latar belakang pendidikan yang jelas. "Prioritas vokasi prasyarat utamanya adalah guru mata pelajaran produktif berkualitas tinggi," kata Ramli. (sapto andika candra/ dessy suciati saputri/inas widyanuratikah ed:mas alamil huda)