Sabtu 13 Jul 2019 07:10 WIB

Garam Komoditas Strategis, Pemerintah Usulkan Revisi Perpres

Dengan garam masuk komoditas strategis, pemerintah akan mudah mengatur harga.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Petambak memanen garam di desa Tanjakan, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (10/7/2019). P
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Petambak memanen garam di desa Tanjakan, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (10/7/2019). P

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengusulkan revisi Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2015 tentang penetapan barang pokok dan barang. Sebab, dalam aturan tersebut komoditas garam dihilangkan sebagai barang pokok. 

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan penghilangan komoditas garam karena dianggap konsumsinya masih sedikit. Padahal, garam sebagai salah satu komoditas strategis.  

Baca Juga

“Garam dapat dimasukkan kembali sebagai kebutuhan pokok dan penting, sama seperti tepung, cabai dan daging. Jadi pemerintah bisa menetapkan harga pokok produksi atau harga dasar karena terdapat pada perpres,” ujarnya saat konferensi pers ‘Progress Permasalahan Pergaraman Nasional’ di Gedung Kemenko Bidang Kemaritiman, Jakarta, Jumat (12/7).

Menurut Agung, masuknya garam ke dalam komoditas strategis akan mempermudah pemerintah mengatur harga garam. Sebab, harga garam terendah ditargetkan bisa mencapai Rp 1.000 per kilogram (Kg).

“Jadi kami megusulkan kembali dimasukan bahan kebutuhan pokok atau barang penting. Memang konsumsi garam sedikit hanya 3,5 Kg per tahun, tidak memengaruhi inflasi tapi sangat berpengaruh terhadap banyak industri,” ungkapnya.

Agung menjelaskan jumlah industri  pengguna garam terus bertambah. Saat ini, menurutnya, terdapat lebih dari 400 industri garam di Indonesia.

“Sebanyak 400 industri akan kolaps, secara sosial ekonomi garam ini sangat penting barang kebutuhan pokok,” ucapnya.

Untuk itu, pihaknya bersama kementerian/lembaga terkait seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan akan berupaya mengusulkan peraturan tersebut dapat direvisi. “Ini menjadi pertimbangan bagi Kementerian Perindustrian dan Badan Pusat Statistik (BPS), jangan sampai harga garam jatuh luar biasa,” ungkapnya.

Sementara Deputi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bidang Teknologo Informasi Energi dan Material Eniya Listiani Dewi menambahkan pihaknya telah menyiapkan lahan seluas 400 hektare untuk mengembangkan pabrik garam terintegrasi. Langkah ini demi mengurangi ketergantungan impor.

“Progressnya saat ini sudah tender pabrik garam di Gresik, tinggal mendirikan pabriknya pada Agustus ini,” ucapnya.

Dia menjelaskan pabrik ini memiliki konsep keterhubungan dari mulai pengolahan sumber daya air laut sampai dengan produk jadi. Produk yang dapat diperoleh dari pabrik tersebut seperti garam industri, trace mineral, produk budidaya perikanan, dan artemia.

Seperti diketahui, garam merupakan komoditas strategis karena banyak diperlukan sebagai bahan baku di berbagai industri kimia terutama untuk memproduksi gas klor, asam klorida, natrium hidroksida, natrium sulfat, natrium karbonat, dan natrium bikarbonat. Garam memiliki peran vital karena digunakan untuk beberapa sektor industri seperti makanan dan minuman, farmasi, kimia, kertas, gelas, tekstil, pengeboran minyak dan lain-lain.

Permasalahan utama dari komoditas garam ini adalah industri dalam negeri belum bisa memproduksi sesuai dengan kebutuhan nasional. Pada tahun, pemerintah memutuskan mengalokasikan impor garam sebesar 2,7 juta ton. 

Dengan demikian, pembangunan pabrik garam untuk kebutuhan industri ini diharapkan mampu untuk mengurangi ketergantungan impor, bahkan diharapkan bisa ke depan bisa untuk meningkatkan kapasitas garam nasional untuk demand Tanah Air.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement