REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta mengatakan pertumbuhan ekonomi yang terus stagnan pada level lima persen dalam beberapa tahun terakhir menjadi kekhawatiran bersama. Meskipun dikatakan stagnasi ini terjadi karena faktor eksternal, namun banyak pekerjaan rumah dalam indikator ekonomi nasional yang perlu diselesaikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen atau setidaknya melampaui angka psikologis lima persen.
"Megawati Institute melihat kondisi tersebut disebabkan oleh struktur pelaku ekonomi yang tidak berimbang. Bahkan, yang mayoritas mendapatkan perlakuan minoritas. Kondisi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah," ujar Arif saat presentasi hasil riset mengenai UMKM bertajuk 'UMKM: Potensi yang Terabaikan Menuju Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen' di Megawati Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/7).
Arif menilai UMKM yang memberikan kontribusi terhadap PDB serta serapan tenaga kerja yang tinggi justru mendapat perhatian yang kurang dibanding perusahaan besar. Arif merinci gambaran struktur pelaku Indonesia saat ini mayoritas ialah UMKM sebesar 99,99 persen dengan menyumbang 97 persen serapan tenaga kerja, 60 persen kontribusi untuk PDB, namun hanya mendapatkan 20 persen distribusi pembiayaan perbankan. Sementara, persen usaha berskala besar hanya diisi sekira 0,01 persen dengan hanya menyerap tiga persen tenaga kerja, dan sumbangan kontribusi terhadap PDB sebesar 40 persen. Angka ini jauh berbanding dengan distribusi pembiayaan perbankan yang diberikan hingga 80 persen.
"Potensi peningkatan ekonomi dari sektor UMKM belum dimaksimalkan," kata Arif.
Arif menyebut hanya 6,3 persen dari total UMKM yang ada di Indonesia mampu terlibat dalam rantai perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Sementara dalam kontribusinya terhadap ekspor nasional, peranan UMKM Indonesia tak lebih dari 15,8 persen. Angka tersebut cukup jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang mencatatkan angka kontribusi terhadap ekspor sebesar 29,5 persen.
"Fakta ini menggambarkan selama ini UMKM hanya dianggap sebagai eksternalitas, bukan pelaku strategis dalam perekonomian nasional," ucap Arif.
Hal ini tampak pada sejumlah pernyataan dan kebijakan pemerintah untuk sektor UMKM cenderung generik. Kata Arif, dapat terlihat dari kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran hingga masalah pajak yang tidak terukur.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan Megawati Institute, UMKM memiliki potensi yang sangat besar untuk berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Arif mengambil contoh, apabila 10 persen dari total UMKM mengalami kenaikan kelas, misalnya dari usaha mikro menjadi usaha kecil, dan seterusnya, maka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional mencapai tujuh persen, bahkan berpeluang menyentuh angka 9,3 persen.
"Mengingat pentingnya mendorong sektor UMKM untuk perekonomian nasional, Megawati Institute berpandangan pemerintah sepatutnya menjadikan sektor UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional dengan beragam terobosan yang tepat, bukan sekadar kebijakan yang menjadi pemanis di bibir," ungkap Arif.