Rabu 10 Jul 2019 21:09 WIB

Kementan: Pola Tanam Bisa Percepat Stabilisasi Harga Cabai

Harga cabai diprediksi segera turun seiring dengan mulai banyaknya panenan di daerah.

Red: EH Ismail
Pedagang menata cabai dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Senin (8/7).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menata cabai dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Senin (8/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa pekan terakhir harga aneka cabai di beberapa sentra produksi mengalami kenaikan yang diakibatkan terbatasnya sumber air di dataran tinggi dan kurang terawatnya pertanaman selama harga rendah waktu sebelumnya. Faktor lainnya karena terhambatnya distribusi hasil panen dari daerah sentra ke nonsentra akibat mahalnya biaya jasa ekspedisi.

Direktur Pengolahan & Pemasaran Hasil Hortikultura, Taufik Yazid menjelaskan kunci stabilisasi pasokan dan harga cabai itu ketersediaan air di lahan dan kelancaran distribusi. Oleh karena itu, kedua faktor ini yang terus dikawal dengan mengatur pola tanamnya agar sesuai kebutuhan dan selanjutnya secara otomatis berdampak pada terjaminnya stabilisasi harga dan pasokan cabai terjaga.

"Harga cabai memang cenderung naik, tapi masih batas toleransi. Tentu kami tidak tinggal diam. Ya kondisi ini anggap saja bonus buat petani untuk mendapat untung guna menutupi utang akibat rendahnya harga cabai di musim tanam sebelumnya," demikian ditekankan Yazid di Jakarta, Rabu (10/7).

Pelaksana Harian Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Mardhiyah Hayati menambahkan  kenaikan harga cabai tidak akan berlangsung lama. Pasalnya, hukum supply demand cabai pada dasarnya mengikuti mekanisme pasar, meski dalam kondisi tertentu serjng terjadi anomali. 

“Solusinya ya mengatur pola tanam untuk penyediaan yang merata dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan di masing-masing wilayah," ujar Mardhiyah.

Untuk itu, sambungnya, kalau ada pola tanam yang sudah ditetapkan, petani harus mematuhinya. Misalnya, di Surabaya kemarin mencuat pemberitaan tentang harga cabai naik. Namun demikian, fakatanya adalah bukan karena di Jawa Timur tidak ada cabai, tetapi belum berproduksi optimal, seperti di Kediri, Malang dan Banyuwangi. 

“Manajemen pola tanam sudah bagus dijabarkan di lapangan, tapi memang keringnya sumber air jadi tantangan tersendiri. Lahan cabai yang kurang air di musim off season ini tidak bisa berproduksi optimal," jelasnya.

Menurut Mardhiyah, harga cabai diprediksi segera turun seiring dengan mulai banyaknya panenan di daerah sentra yang biasa memasok ke Jakarta. Cabai dari Sulawesi bahkan sudah masuk ke Jawa lewat Tanjung Perak dan Juanda. Sentra di Jawa, seperti Cianjur, Bandung, Garut, Sumedang, Banjarnegara, Kebumen, Magelang, Temanggung, Kediri, Blitar dan Lampung Selatan dan Pesawaran akan mulai memasuki musim panen awal Agustus.

photo
Seorang pembeli memanggul cabai yang dibeli di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (9/7/2019).

“Diperkirakan luas panen di daerah Jawa ini mencapai  6.000 hektar lebih. Produksinya tentu sangat banyak dan mencukupi kebutuhan sehingga harga dipastikan segera normal. Kita inginkan petani untung dan konsumen pun tersenyum dengan harga yang normal,” sebut Mardhiyah.

Suyono, Ketua Paguyuban Petani Cabai di Kediri mengatakan terkait naiknya harga cabai di Surabaya, masih dalam taraf yang wajar. Harga cabai di tingkat konsumen di Surabaya memang sedikit naik, tapi tidak ekstrim. 

“Bahkan cabe dari Sulawesi Selatan malah masuk ke Pasar Pare Kediri. Di Sulawesi Selatan rawit merah tingkat petani Rp 16 ribu hingga 20 ribu per kilogram dan cabai keriting Rp 20 ribu hingga 25 ribu per kilogram. Justru saya himbau pedagang jangan latah dengan fenomena ini. Sedikit naik, terus ikutan jual mahal di ecerannya. Kan kasihan konsumen," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement