REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kebijakan cukai merupakan opsi paling tepat dalam mengendalikan penggunaan plastik. Diketahui, dari 16 persen sampah plastik di Indonesia, 62 persennya terdiri dari kantong plastik.
Dia menjelaskan, rencana penerapan cukai plastik bukan merupakan upaya pelarangan penggunaan plastik dari pemerintah. Cukai, kata dia, hanya merupakan upaya pengendalian plastik di masyarakat dengan membentuk regulasi dan memberikan insentif fiskal bagi industri yang memproduksi plastik ramah lingkungan.
“Cukai aadalah alat intrumen fiskal untuk kendalikan barang yang punya ekstenalitas negatif,” kata Nirwala dalam Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Industri Plastik dengan Berorientasi pada Lingkungan, di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (9/7).
Berdasarkan catatannya, secara umum sampah plastik di Indonesia mengalami kenaikan. Tercatat, sampah plastik pada 2014 berjumlah 14 persen dan meningkat menjadi 16 persen pada 2016. Tren tersebut menunjukkan, volume sampah plastik dalam tiga tahun terakhir mengalami kenaikan hingga 3 persen.
Dia menjabarkan, di tahun pertama cukai plastik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah diterapkan sebesar Rp 1 triliun. Dia menyebut, permasalahan besaran tarif harus dipertimbangkan dari aspek keberlangsungan industrinya. Seperti diketahui, Kemenkeu mengusulkan penerapan tarif cukai plastik sebesar Rp 30 ribu per kilogram (kg) atau Rp 200 per lembar.
Menurut Nirwala, pengendalian sampah plastik melalui cukai menimbang aspek kuantitas plastik tersebut. Adapun salah satu pertimbangannya, kata dia, semakin tebal plastik maka cukainya akan semakin murah. Sehingga klasifikasi penerapan cukai terhadap plastik harus diperjelas.
“Plastik buat tempat sampah nggak kena lho ya. Polybag nggak kena, kantong sampah nggak. Makanya barang cukainya harus diperjelas,” kata dia.