Rabu 03 Jul 2019 15:07 WIB

Pemerintah Ajak BUMDes dan Swasta Dirikan Toserba Perbatasan

BUMDes bisa memakai dana desa untuk mendirikan toserba di perbatasan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Suasana menjelang Maghrib di pantai dekat pos perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Foto: Rahma Sulistya/Republika
Suasana menjelang Maghrib di pantai dekat pos perbatasan Indonesia-Timor Leste.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, mendorong peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk mendirikan toko serba ada atau Pusat Logistik Berikat (PLB) di kawasan perbatasan. Pendirian PLB perbatasan, ditujukan untuk mempermudah penyediaan kebutuhan barang pokok masyarakat Indonesia yang tinggal berbataasan dengan negara tetangga.

Adapun barang-barang yang dijual di PLB tersebut berasal dari barang-barang yang diproduksi oleh negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Dengan begitu, masyarakat yang selama ini kesulitan mendapatkan barang pokok dan harus pergi ke negara tetangga cukup berbelanja di PLB tersebut.

Baca Juga

"Kebijakan ini sekaligus untuk kita memberikan ruang bagi pemerintah daerah melalui BUMDes. Boleh mereka mendirikan toko serba ada ini. Kami sangat senang," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Heru Pambudi dalam Konferensi Pers di Jakarta, Rabu (3/7).

Menurut Heru, pemerintah mengizinkan jika BUMDes menggunakan dana desa untuk mendirikan PLB di perbatasan. Sebab, manfaat dari adanya PLB itu akan sangat besar bagi penduduk di perbatasan yang kerap kali harus terpaksa berbelanja ke luar negeri. Oleh sebab itu, Heru mengajak agar pemerintah daerah bersinergi dengan BUMDes untuk membantu program tersebut.

Tak hanya BUMDes, pelaku usaha swasta murni juga diberikan 'pintu' sebesar-besarnya untuk ikut menjalankan bisnis PLB perbatasan. Sebagai informasi, konsumen dari PLB perbatasan itu yakni harus merupakan masyarakat setempat.

Mereka akan berbelanja dengan menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB) dan diverifikasi dengan pindai sidik jari. "Pembelinya akan mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor (PDRI). Jadi tidak perlu menyeberang negara lagi," ujar dia.

Heru menggambarkan, konsep dari PLB perbatasan tersebut persis seperti toserba atau pasar pada umumnya. Namun, PLB dikhususnya untuk menjual barang-barang kebutuhan pokok, bukan barang mewah.

Adapun mereka yang berdagang di kawasan PLB perbatasan itu terbuka bagi siapa saja masyarakat yang ingin membuka usaha. "Jadi yang punya tokonya itu satu orang. Tapi kan suplai barang dan penyediaannya bisa dari mana-mana. Mislanya mau barang impor juga boleh dari negara perbatasannya," ujar Heru.

Sementara itu, Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Robert Simbolon mengatakan, sampai dengan saat ini terdapat 187 kecamatan dari Sabang sampai Merauke yang masuk dalam daerah perbatasan darat maupun laut. Khusus perbatasan darat, Robert menyebut Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Adapun perbatasan laut, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara. Terkait dengan pendirian PLB perbatasan ini, Robert mengatakan tentu harus dibangun di seluruh wilayah perbatasan.

"Bisa di desa yang memang dia berada di garis batasnya atau pun yang tidak berbatasan langsung tapi dia masuk wilayah terluar," ujarnya.

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, menambahkan, isu keamanan dan kesejahteraan menjadi penting bagi kawasan terluar. Ia mengakui, tidak menutup kemungkinan situasi di perbatasan kental dengan kemungkinan residu sosial, politik, hukum, dan keamanan di tingkat lokal.

Karena itu, pemerintah pusat dan daerah wajib membangun pelayanan yang baik agar meminimalisasi potensi konflik di perbatasan itu sendiri. "Perbatasan bukan sekadar tempat lalu lintas orang dan barang. Tapi juga harus diciptakan ekosistem pemberdayaan ekonomi lokal," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement