Jumat 28 Jun 2019 12:59 WIB

Kesadaran Halal Konsumen-Produsen UKM Masih Rendah

Produsen masih enggan mengurus sertifikasi halal.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Proses pembuatan roti yang halal, di Pameran Halal Indonesia Expo, JCC Senayan, Jakarta, Jumat (28/6). Makanan dapat dikatakan halal apabila proses pembuatan hingga bahan bakunya mengandung unsur tayyiban.
Foto: Republika/Imas Damayanti
Proses pembuatan roti yang halal, di Pameran Halal Indonesia Expo, JCC Senayan, Jakarta, Jumat (28/6). Makanan dapat dikatakan halal apabila proses pembuatan hingga bahan bakunya mengandung unsur tayyiban.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aspek halal khususnya pada Usaha Kecil Menengah (UKM) dinilai sebagai upaya perlindungan, baik itu kepada produsen maupun konsumen. Sayangnya, mayoritas sektor UKM belum sepenuhnya menerapkan aspek kehalalan ataupun mensertifikasi produknya menjadi halal.

Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dari Sanina Up and Culinary Center, Ena Lubis (45 tahun), mengeluhkan kesadaran halal yang masih rendah baik di tingkat konsumen maupun produsen. Menurut dia, kondisi tersebut berbeda jauh dengan yang terjadi di beberapa negara tetangga Indonesia seperti Singapura.

“Sebagai negara yang multietnis saja, masyarakat Singapura sudah sadar pentingnya halal. Sementara produsen-konsumen di Indonesia (kesadaran halalnya) masih jauh dari mereka,” kata Ena saat ditemui Republika.co.id, di Pameran Halal Indonesia Expo 2019, di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (28/6).

Sebagai contoh, Ena menjabarkan, hampir secara keseluruhan konsumen Indonesia enggan mempertanyakan kehalalan suatu produk ataupun makanan yang dijual-jual di baik di kaki lima maupun di pusat perbelanjaan ketika hendak membeli. Pengetahuan mayoritas konsumen Indonesia tentang halal dinilai masih terpaku hanya satu aspek, yakni mengandung zat dan daging babi atau tidak. Padahal, kata dia, unsur halal tak hanya bisa dilihat dari satu unsur saja.

Dia menjabarkan, faktor halal perlu dipastikan mulai dari memperoleh bahan baku, ketersediaan bahan baku, ruangan produksi, kebersihan saat memproduksi, hingga proses-proses produksi lainnya seperti perlakuan produsen terhadap dirinya saat melakukan produksi. Proses hulu dan hilir halal tersebut, kata Ena, belum sepenuhnya dimengerti oleh konsumen dan produsen.

Di sisi lain, umumnya pelaku usaha enggan mengurus sertifikasi halal lantaran prosesnya yang membutuhkan waktu lama dan juga biaya. Padahal, kata Ena, jika ada keseriusan untuk mengurus itu, terdapat banyak kemudahan dalam menjalani prosesnya. Contohnya, bagi pelaku UKM yang bermodal minim dapat mengajukan sertifikasi halal secara kolektif di tingkat daerah maupun provinsi.

“Karena setahu saya pemda (pemerintah daerah) menyediakan kuota tertentu untuk UKM yang ingin melakukan sertifikasi halal,” kata Ena.

Prosesnya, dia menjabarkan, pelaku UKM dapat menghubungi komunitas UKM yang tersebar di daerahnya untuk diberikan bimbingan dan pendampingan negosiasi di tingkat pemda. Bahkan pengurusan sertifikasi halal melalui negosiasi tersebut dapat ditempuh dengan biaya nol persen.

Hanya saja, Ena mengakui, proses pengajuan sertifikasi halal tidak bisa dijalankan dalam waktu cepat. Sebab terdapat disparitas jumlah antara pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi dengan tenaga sertifikasi yang cenderung minim. Selain itu, kata dia, pemerintah melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) juga perlu memastikan keberlanjutan dan konsistensi produsen dalam menerapkan aspek halal.

“Kan banyak produsen itu yang nakal, kalau disidak pakai produk yang halal. Giliran tidak disidak, dia enggak pakai halal itu lagi,” kata dia.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) dari 1,6 juta pelaku industri makanan dan minuman (mamin), mayoritasnya belum mengantongi sertifikasi jaminan produk halal. Sedangkan berdasarkan pernyataan Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Rachmat Hidayat, jumlah pelaku industri mamin yang tersertifikasi baru sekitar 11 ribuan. Minimnya jumlah sertifikasi diklaim Rachmat karena mahalnya biaya sertifikasi tersebut.

Salah satu pengunjung Halal Indonesia Expo, Inayah (28 tahun) mengaku sangat tertarik dengan konsep halal. Dia menjabarkan, sebagai konsumen pihaknya memang sudah berhati-hati dalam memilih produk yang ingin dikonsumsi. Halal, kata Inayah, perlu diperkenalkan sedari dini sebab merupakan gaya hidup umat Muslim.

“Halal kan sehat, makanya anak saya juga saya ajarkan apa itu halal. Misalnya kalau mau beli makanan, saya suruh anak saya tanya dulu ke yang jual, makanannya halal atau tidak,” kata Ina.

Inayah menceritakan, tak sedikit produsen maupun pedagang di Indonesia yang agak sensitif ketika ditanyai mengenai aspek kehalalan. Malah, tak jarang, dia kerap menerima makian dari pedagang ketika mempertanyakan kehalalan suatu produk yang dijajakan si pedagang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement