REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jawa Timur Heru Cahyono mengungkapkan, sektor jasa keuangan syariah di Jawa Timur mencatatkan kinerja positif pada triwulan I-2019. Tercermin dari peningkatan volume usaha perbankan syariah sebesar 7,38 persen (yoy). Peningkatan ini ditopang pertumbuhan DPK sebesar 14,5 persen (yoy), dan kredit/pembiayaan 7,94 persen (yoy).
Di antara kinerja positif perbankan Jatim, BPRS juga mampu menunjukkan eksistensinya dengan mencatatkan pertumbuhan volume usaha 8,26 persen (yoy), DPK 11,05 persen (yoy), dan pembiayaan 21,97 persen (yoy). Pertumbuhan tersebut, kata Heru, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perbankan secara keseluruhan di Jatim.
"Ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Jatim terhadap perbankan syariah dan khususnya BPRS mengalami peningkatan yang signifikan," kata Heru di Surabaya, Selasa (25/6).
Namun demikian, lanjut Heru, perbankan syariah di Jatim, harus lebih berupaya meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan. Kehati-hatian perlu ditingkatkan mengingat risiko kredit perbankan syariah di Jatim cenderung meningkat secara signifikan, dengan rasio NPF pada Mei 2019 sebesar 5,16 persen.
Heru mengingatkan, sebagai bagian dari sistem keuangan di Indonesia, industri perbankan syariah, khususnya BPRS tidak lepas dari berbagai tantangan yang dihadapi. Tantangan dan tingkat kompetisi yang dihadapi industri BPRS saat ini cenderung semakin ketat dengan berkembangnya perusahaan Fintech, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), serta program KUR dengan bunga tujuh persen.
Guna menjawab tantangan tersebut, Heru menekankan BPRS di Jatim agar mampu lebih adaptif dan kreatif dalam menyusun berbagai strategi bisnis. Baik strategi dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, maupun strategi dalam menjalankan kegiatan operasional bank seefektif dan seefisien mungkin.
Menurut Heru, revolusi industri 4.0 yang telah mengubah paradigma masyarakat dunia dan banyak menawarkan peluang, harus ditangkap oleh BPRS. Oleh karena itu, Heru berharap agar pengembangan strategi bisnis yang dilakukan BPRS di Jatim, bukan hanya berfokus pada produk yang dipasarkan, namun bergeser pada ide-ide untuk melakukan kolaborasi mengembangkan platform bersama.
"Baik dengan sesama BPRS dalam satu industri, maupun berkolaborasi dengan Bank Umum Syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya seperti asuransi syariah, fintech syariah, dan LKM Syariah," kata Heru.
BPRS juga didorong segera memenuhi kebutuhan SDM, menyusun kebijakan dan prosedur, serta meningkatkan kapasitas infrastruktur teknologi informasi. Terkait pentingnya modal bank sebagai risk buffer dan pemenuhan ketentuan permodalan, Heru berharap BPRS dapat mengantisipasi dan mengupayakan sejak dini kewajiban pemenuhan modal inti minimum yang harus dipenuhi pada akhir 2020.