REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menilai, regulasi berbelit menyebabkan impor pangan yang dilakukan pemerintah sepanjang tahun 2018 hingga pertengahan 2019 tidak sepenuhnya efektif untuk menstabilkan harga komoditas pangan di pasar. Salah satunya adalah terkait waktu pelaksanaan impor yang tidak tepat.
Galuh menuturkan, pemerintah cenderung melakukan kegiatan impor ketika harga di pasar sudah mulai naik. Misalnya, pada saat bulan puasa dan menjelang Lebaran beberapa waktu yang lalu.
"Padahal, pemerintah seharusnya dapat memperhatikan parameter harga saat akan menentukan perlu atau tidaknya impor dilakukan," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika, Rabu (19/6).
Saat harga di pasar melambung, Galuh menambahkan, tentu ada kekurangan pasokan dalam jumlah tertentu yang dapat menstabilkan harga. Namun, impor seringkali dilakukan saat harga sudah terlalu tinggi.
Galuh memberikan contoh pada komoditas bawang putih. Pada kenyataannya, masih dijual dengan harga sekitar Rp 40.000 per kilogram (kg) dari yang biasanya Rp 35.000 kg.
Selain itu, Galuh mengatakan, tindakan pemerintah untuk menyetop impor jagung juga berakibat pada terjadinya gejolak harga di pasar karena berimbas pada kenaikan harga komoditas lain yaitu telur dan ayam. "Faktanya, pemerintah perlu menyadari bahwa produksi jagung Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan nasional," katanya.
Salah satu faktor yang menyebabkan keterlambatan impor adalah rumitnya koordinasi. Pelaksanaan impor komoditas pangan melibatkan koordinasi antara beberapa kementerian terkait. Misal, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Koordinasi lanjutan yang dibutuhkan pasca rapat bersama juga membuat pemerintah seringkali kehilangan momentum dalam mengimpor, yaitu saat harga internasional sedang rendah. "Manajemen impor yang baik juga sangat dipengaruhi oleh sinergitas antar kementerian tersebut," ujar Galuh.
Permasalahan lain kegiatan impor yang dilakukan pemerintah juga dilakukan berdasarkan data pangan yang seringkali dipermasalahkan. Perbedaan data pangan antar Kementerian dan instansi pemerintah membuat efektivitas impor tersebut perlu dipertanyakan.
Dampaknya, kementerian terkait enggan mengeluarkan rekomendasi impor pangan yang pada akhirnya mengakibatkan prosedur impor juga jadi harus terhambat.
Demi meminimalisir proses impor yang berbelit-belit, Galuh menganjurkan, pemerintah harus tegas dalam mengatur mekanisme impor. Pemerintah juga setidaknya dapat terbuka pada opsi perusahaan swasta untuk dapat melakukan impor, terutama dalam komoditas beras. Rantai distribusi yang cenderung lebih pendek yang dilalui oleh perusahaan swasta dapat berpotensi menurunkan harga pangan.
Pada akhirnya, pemerintah harus lebih cermat dalam memperhitungkan kapan Indonesia harus melakukan impor. Gejolak harga yang tidak stabil tentunya akan merugikan para konsumen di Indonesia.
"Terutama pada konsumsi rumah tangga yang sangat bergantung pada komoditas pangan yang terjangkau untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari," ujar Galuh.