Jumat 14 Jun 2019 15:25 WIB

Program Asuransi Perikanan Dorong Semangat Pembudi Daya

Asuransi perikanan menjadi motivasi pembudi daya untuk berproduksi dengan tenang.

Pekerja mengangkat keranjang saat panen perdana budi daya tiram menggunakan sistem keramba apung di Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa (19/3).
Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Pekerja mengangkat keranjang saat panen perdana budi daya tiram menggunakan sistem keramba apung di Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa (19/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Budi Daya Perikanan KKP Slamet Soebjakto menyatakan program asuransi perikanan yang dimiliki pemerintah menambah semangat pembudi daya untuk berproduksi. Asuransi perikanan memberikan ketenangan bagi pembudi daya karena usaha mereka terjamin.

"Program APPIK (Asuransi Perikanan untuk Pembudi Daya Ikan Kecil) yang dilakukan oleh KKP sejak 2017 lalu telah berpengaruh nyata terhadap aktivitas usaha budi daya karena mampu memberikan jaminan usaha, motivasi, dan semangat bagi para pembudi daya," kata Slamet Soebjakto, Jumat (14/6).

Baca Juga

Slamet memaparkan, hingga 2018 lalu, cakupan asuransi APPIK telah mencapai hingga seluas 13.520 hektare yang terletak di berbagai daerah. Jika pada 2017 asuransi hanya untuk usaha budi daya udang, tahun lalu pemerintah menambah cakupan asuransi, yaitu patin, nila salin, nila tawar, dan bandeng, baik dengan metode monokultur atau polikultur untuk komoditas air payau. 

Besaran premi udang adalah Rp 225.000 per hektare per tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp 7,5 juta per hektare per tahun. Sementara premi ikan patin Rp 90.000 per 250 meter persegi kolam per tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp 3 juta.

Adapun premi nila tawar sebesar Rp 135.000 per 200 meter persegi kolam per tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp 4,5 juta per tahun. Selanjutnya, premi nila payau Rp 150 ribu per hektare per tahun dengan nilai pertanggungan maksimum sebesar Rp 5 juta per hektare per tahun.

Komoditas lainnya yaitu bandeng dengan premi Rp 90 ribu per hektare per tahun dan polikultur Rp 225 ribu per hektare per tahun dengan maksimum pertanggungan masing-masing Rp 3 juta dan Rp 7,5 juta per hektare per tahun. "Kita sudah masuk bulan Juni tahun 2019. Saya sudah instruksikan seluruh Satker lingkup DJPB untuk segera mempercepat realisasi program-program prioritas yang sudah ditetapkan," ucapnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim menyatakan, Menteri Kelautan dan Perikanan perlu untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap sumber daya ikan di kawasan perairan nasional. "Problem utama (di sektor kelautan) yang kita hadapi adalah melakukan pembenahan secara mendasar agar cita-cita pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab bisa terwujud," kata Abdul Halim.

Menurut dia, mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan agar tetap bisa dinikmati baik oleh seluruh pelaku usaha perikanan maupun generasi mendatang layak menjadi prioritas utama. Untuk itu, ia menginginkan adanya evaluasi terbuka perihal pengelolaan sumber daya ikan selama lima tahun terakhir dalam rangka melihat bagian-bagian mana saja yang perlu diperkuat atau bahkan belum diintervensi.

"Lebih dari itu adalah bagaimana memperkuat kemandirian usaha perikanan nasional, mulai dari skala kecil, menengah dan besar," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement