Rabu 05 Jun 2019 19:34 WIB

Pemerintah Antisipasi Kinerja Ekspor

Bank Dunia baru saja menurunkan proyeksi laju pertumbuhan ekonomi dunia.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Gita Amanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers mengenai Pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) 2019 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan pers mengenai Pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) 2019 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (24/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia baru saja menurunkan proyeksi laju pertumbuhan ekonomi dunia dari 2,9 persen menjadi 2,6 persen. Penurunan proyeksi tersebut salah satunya diakibatkan oleh melemahnya aktivitas perdagangan dunia.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pemangkasan tersebut telah sejalan dengan prediksi yang dilakukan oleh International Monetary Fund (IMF), Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), hingga Asian Development Bank (ADB). Ia mengatakan, penurunan proyeks tersebut sebagai dampak dari masih berlangsungnya perang dagang antara AS dan Cina.

Baca Juga

"Ini (perang dagang) skenario yang tidak baik. Down side risk sudah terjadi dan berbeda sekali rasanya. Berbeda sekali yang terjadi selama satu bulan terakhir," kata Sri Mulyani di Rumah Dinas, Widya Chandra, Jakarta Selatan, Rabu (5/6).

Sri mengatakan, semua pihak berharap agar perang dagang tidak semakin parah. Namun, yang terjadi saat ini justru situasi semakin buruh. Kendati sempat dilakukan negosiasi antara kedua negara, skenario terburuk dari perang dagang justru terjadi dan dimulai pada bulan Juni ini.

Hal itu, kata Sri, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-IV dapat terpengaruh. Bukan lagi pengaruh akibat adanya ancaman perang dagang, namun implementasi dari ancaman tersebut.

Dari sisi Indonesia, Sri mengatakan, hal itu sudah terlihat dari menurunnya kinerja neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ia mencatat, pada akhir 2017, ekspor Indonesia mengalami puncak ditandai dengan raihan surplus neraca perdagangan terbesar sejak 2014 silam. Tercatat Indonesa mengalami surplus sebesar 11,84 miliar dolar AS.

Namun, memasuki 2018, mengacu data BPS, Indonesia mengalami defisit 1,41 miliar dolar AS. Pada 2019, kurun waktu Januari-April 2019, Indonesia tercatat defisit 2,56 miliar dolar AS. "Ini dampak yang sangat terlihat dari apa yang disebut trade war yang diimplementasikan," ujar Sri.

Menurut Sri, pergeseran destinasi negara tujuan ekspor menjadi salah satu jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan kinerja perdagangan Indonesia. Namun, ia mengakui, kemampuan Indonesia untuk melakukan hal itu tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, persoalan ekspor nasional ke depan menjadi tantangan pemerintahan ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement