REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gonjang ganjing harga produk pangan kerap membuat pemerintah harus menjadi ‘pemadam kebakaran’ mengatasi persoalan tersebut. Rendahnya harga di tingkat Petanu atau produsen dan melonjaknya harga di tingkat konsumen, karena rantai pemasaran yang cukup panjang.
Guna menjaga stabilisasi harga pangan dan memotong mata rantai distribusi komoditas pertanian, sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah mengembang Toko Tani Indonesia (TTI). Dengan TTI diharapkan produsen dan konsumen mendapatkan harga yang wajar.
TTIC.
Dalam pengembangannya, pemerintah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk membuka TTI. Artinya, pemerintah hanya mengelola pusat ini. Sedangkan masyarakat umum bisa mengelola atau membuka TTI di wilayahnya masing-masing.
Untuk meningkatkan pelayanan TTI, pemerintah pun mengembangkan E-Commerce TTI. Dengan sistem online tersebut, produsen dan pengelola TTI dapat lebih mudah bertransaksi. Ibarat simbiosis mutualisme. Bagi produsen, baik petani maupun gabungan kelompok tani (gapoktan) tidak lagi kesulitan memasaran produknya. Sedangkan pengelola TTI juga lebih mudah mendapatkan barang.
“Aplikasi E-Commerce TTI ini bisa diunduh di Playstore dengan nama Toko Tani Indonesia,” kata Manajer TTIC, Inti Pertiwi Nasywari di Jakarta, beberapa waktu lalu. Namun lanjutnya, aplikasi tersebut saat ini hanya untuk pengelola TTI dan produsen (petani dan gapoktan). Jadi sifatnya masih B to B (Business to Business), bukan B to C (Business to Customer).
User name aplikasi ini hanya diberikan kepada produsen atau gapoktan dan pengelola TTI. Namun pihaknya saat ini juga tengah membangun aplikasi B to C yang nantinya diharapkan lebih mudah mempertemukan produsen atau pengelola TTI dengan konsumen.
Nilai transaksi
TTIC
Data TTIC selama tahun 2018 ada sebanyak 1.173 yang mengunduh aplikasi tersebut, baik petani, gapoktan maupun pengelola TTI. Bahkan tahun lalu nilai transaksi E-Commerce mencapai Rp 8,6 miliar. Sedangkan tahun ini hingga Mei 2019 sudah mencapai Rp 3,5 miliar. “Kami harapkan hingga akhir tahun nilai transkasi E-Commerce akan lebih tinggi dari tahun lalu,” ujarnya.
Inti yang juga Kepala Bidang Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian mengatakan, saat ini aplikasi E-Commerce TTI masih sebatas untuk komoditas beras. Namun ke depan, pihaknya berencana mengembangkan untuk komoditas lainnya, seperti cabai dan bawang merah.
Banyak keuntungan aplikasi ini. Bagi produsen menurut Inti, lebih mudah memasarkan produknya. Sedangkan bagi pengelola TTI mendapatkan kepastian barang. Sebab, dalam aplikasi E-Commerce TTI ada pilihan seperti, waktu pengantaran barang, jenis moda transportasi dan nomor kontak masing-masing (gapoktan dan pengelola TTI).
“Karena ada nomor kontak, pengelola TTI dan gapoktan bisa saling bernegosiasi,” ujarnya. Keuntungan lainnya menurut Inti, dapat terlihat transaksi yang sedang berjalan, baik yang sedang proses, sedang berlangsung maupun sudah selesai transaksinya.
Data TTIC, saat ini transaksi terbesar berada di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat dan Banten. Penjual terbesar ke TTI adalah Gapoktan Sedulur Bae di Tangerang, Banten, selanjutnya Kelompok Tani Wangi Mekar dan Mulya Tani, Bogor. Sementara TTI yang order terbesar adalah Toko Sely di Tangerang dengan jumlah transaksi sebanyak 19 kali atau sebanyak 9,5 ton beras.
Meski E-Commerce TTI mudah diaplikasikan, namun Inti mengakui, tidak semua petani (gapoktan) dan pengelola TTI melakukan transaksi. Diantara penyababnya adalah terbatasnya kemampuan petani menggunakan aplikasi tersebut. “Karena itu kita terus melakukan sosialisasi cara penggunaan aplikasi TTI. Pelatihan pun kita lakukan terpisah antara pengurus gapoktan dan pengelola TTI,” tuturnya.
Ke depan, Inti berharap, bukan hanya pengembangan E Commerce TTI B to C, tapi juga aplikasi B to B bisa menjalar ke wilayah lain, bukan hanya sebatas DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, tapi provinsi lainnya di Indonesia. Saat ini yang sudah mulai adalah Bali.