REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Depresiasi nilai tukar rupiah telah terjadi selama sepekan. Pelemahan berlanjut setelah rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan defisit neraca perdagangan sebesar 2,5 miliar dolar AS. Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate untuk menjaga stabilitas makro ekonomi, khususnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
"Tadinya berharap BI menurunkan. Tapi melihat depresiasi rupiah beberapa hari ini, defisit neraca perdagangan yang menyebabkan IHSG terkoreksi, jadi agak ragu BI akan menurunkan," ujar Ekonom INDEF Ahmad Heri Firdaus, Kamis (16/5).
Defisit neraca perdagangan yang sangat jeblok tersebut merupakan imbas dari perang dagang antara Cina dan AS. Perlambatan ekonomi global, serta melemahnya harga komoditas juga turut mempengaruhi stabilitas makroekonomi. Selain itu saat ini bank sentral AS juga tidak lagi agresif menaikkan Fed Fund Rate (FFR).
Heri menilai, BI akan mempertahankan untuk menjaga selisih suku bunga BI Repo Rate dengan FFR untuk mempertahankan agar pasar Indonesia tetap menarik bagi investor asing. "Kalau BI mempertahankan, artinya menjaga selisih atau gap antara suku bunga BI dengan The Fed, sehingga menjaga aliran arus modal masuk," jelasnya.
Kendati begitu, dia berharap dalam waktu dekat BI dapat menurunkan suku bunga acuan. Suku bunga acuan yang lebih rendah akan memicu suku bunga kredit turun dan dapat menghidupkan lagi sektor riil.
"Ekspor melambat kan karena industri manufaktur kita yang mengerem. Dengan diturunkan akan meningkatkan kredit modal kerja dan investasi yang menggerakan kembali sektor riil untuk bisa lebih kompetitif," katanya.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah sejak awal bulan terus melemah. Pada 2 Mei 2019, rupiah berada di posisis Rp 14.245 per dolar AS. Per 16 Mei 2019, rupiah ditransaksikan sebesar Rp 14.458 per dolar AS.