REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta mengevaluasi kembali perusahaan yang memiliki izin impor plastik. Hal ini menyusul temuan limbah plastik dalam paket impor kertas bekas dari luar negeri di Surabaya, yang laporannya dirilis April 2019 lalu.
Australia, sebagai negara pengekspor, diduga menyelipkan limbah plastik dalam kertas bekas yang dikirim ke Indonesia sebagai bahan baku industri kertas. Laporan penemuan ini dilakukan dari hasil investigasi lembaga Ecological Observations and Wetlands Conservations (Ecoton), yang berbasis di Jawa Timur.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirim Departemen Lingkungan dan Energi Australia, disebutkan bahwa standar untuk impor bahan daur ulang termasuk tingkat kontaminasinya adalah tanggung jawab negara penerima. Dalam hal ini Indonesia.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) pun meminta pemerintah Indonesia lebih tegas menanggapi kasus ini. Dalam rilis yang diterbitkan Maret lalu, AZWI sudah menerbitkan lima rekomendasi. Selain desakan pelaksanaan evaluasi terhadap izin impor plastik, AZWI juga meminta pemerintah Indonesia meninjau kembali kebijakan dan regulasi mengenai importasi sampah dan skrap, khususnya plastik dan kertas.
Aliansi juga meminta pemerintah membatasi bahan tercampur atau kontaminan pada sampah dan skrap plastik atau kertas yang diimpor hingga kurang dari 0,5 persen. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk mengembangkan sistem yang memampukan dan insentif untuk tingkatkan prosentase daur ulang dari sampah di dalam negeri.
Rekomendasi kelima, mendesak pemerintah melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai aditif plastik dan saat mendaurulang plastik. "Sampah dan reja (buangan) plastik yang dihasilkan pabrik kertas ada dua macam yang kami temukan di Gresik," kata Prigi Arisandi, aktivis dari Ecoton dalam rilisnya.
Jenis pertama, jelas Prigi, adalah serpihan plastik bercampur kertas yang tidak bisa didaur ulang, biasanya digunakan untuk bakar tahu atau bahan bakar lainnya. Sementara jenis kedua adalah sampah plastik yang bentuknya beragam, seperti botol, sachet, kemasan makanan, personal care, hingga produk rumah tangga. "Masyarakat sebetulnya hanya mendapat keuntungan ekonomi sesaat, tidak bersifat jangka panjang," kata Prigi.
AZWI mencatat, negara-negara ASEAN memang sudah menjadi negara pemroses sampah dan reja plastik, baik yang diimpor maupun dari sampah domestik, termasuk Indonesia. Negara-negara ASEAN selama ini menyerap 3 persen sampah dan reja plastik global, dan secara bersamaan berperan mengirimkan kembali 5 persen untuk diekspor ke pasar global.
Dari seluruh negara, Cina mengambil peran yang jauh lebih besar untuk menyerap sampah plastik dunia. Secara kumulatif selama 1988 hingga 2016, AZWI merangkum, Cina menyerap 45,1 persen sampah dunia.
Namun sejak Maret 2018 yang lalu, Pemerintah Cina membuat kebijakan untuk membatasi secara ketat impor sampah plastik mereka dengan berlakunya kebijakan 'National Sword'. "Hal ini telah membuat perdagangan sampah, khususnya sampah plastik, di seluruh dunia terguncang," katanya.