Senin 06 May 2019 17:08 WIB

Hasil Survei: 75 Persen Konsumen Tolak Tarif Ojek Online

Tarif baru ojek online berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Tarif baru ojek online
Foto: republika
Tarif baru ojek online

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Research Instutute of Socio Economic Development (Rised), penerapan kenaikan tarif ojek online (ojol) sejak 1 Mei 2019 menggerus permintaan konsumen terhadap jasa ojol hingga 75 persen. Jumlah tersebut diproyeksi dapat berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.

Peneliti Rised yang juga merupakan ekonom dari Universitas Airlangga Rumayya Batubara mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 3.000 konsumen pengguna ojol yang tersebar di sembilan wilayah di Indonesia, tarif baru yang diatur pemerintah tidak mencerminkan tarif yang dibayar oleh konsumen.

Baca Juga

Berdasarkan kebijakan peraturan Kementerian Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 348 Tahun 2019 disebutkan, tarif atau biaya jasa yang tertera pada peraturan tersebut merupakan tarif bersih yang akan diterima oleh pengemudi. Artinya, kata dia, tarif yang harus dibayar konsumen akan menjadi lebih mahal mengingat terdapat tambahan biaya sewa aplikasi.

“Jadi dalam peraturan itu, ada biaya tambahan sewa sebesar 20 persen tarif batas bawah yang dikenakan kepada konsumen. Misalnya di Jabodetabek dikenakan Rp 2.500 per kilometer (km) tapi yang tertera di Kempenhub justru Rp 2.000 per km,” kata dia saat memberikan penjelasan mengenai hasil survei kepada wartawan, di Jakarta, Senin (6/5).

Dia menyebutkan, penerapan tarif baru tersebut juga berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya. Mengacu pada penelitian tersebut, kata Rumayya, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km per hari di Zona 1 yang meliputi wilayah Jawa nonJabodetabek, Bali, dan Sumatera.

Sedangkan untuk Zona 2 yang berada di wilayah Jabodetabek rata-rata jarak tempuh mencapai 8-11 km per hari, dan Zona 3 yang meliputi wilayah sisanya menempuh jarak rata-rata 6-9 km per hari. Dari semua kriteria jarak tempuh yang ada dengan asumsi penerapan kenaikan tarif, pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11 ribu per hari di Zona 1, Rp 6.000-Rp 15 ribu di Zona 2, dan Rp 5.000-Rp 12 ribu di Zona 3.

“Jadi, dengan adanya penambahan pengeluaran sebesar itu, ini akan ditolak oleh 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk kenaikan Ojol maksimal Rp 4.000-Rp 5.000 per hari,” kata dia.

Pendapat senada disampikan ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal. Fithra mengatakan, kenaikan tarif ojol menimbulkan konsekuensi penurunan potensi penumpang. Dia mencontohkan berdasarkan dari beberapa perbincangannya dengan pengemudi ojol, terdapat jumlah penurunan penunmpang yang mereka dapatkan dari biasanya 17 orang penumpang, hanya mencapai 10 penumpang saja per hari.

Terlebih, kata dia, terdapat subsitusi moda angkutan yang lebih dulu eksis dibanding ojol seperti angkutan umum seperti bus dan angkot. Pertimbangan konsumen, menurut dia, cenderung mengacu kepada kemampuan tarif yang dapat mereka bayarkan.

“Kenapa mereka bisa beralih ke moda itu? Karena ada faktor substitusinya. Jadi mereka lebih baik nambah waktu daripada nambah bujet transportasi harian,” kata Fithra.

Menurut dia, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga menerapkan bisnis transportasi daring, pemerintah Indonesia belum siap menyiapkan pengembangan regulasi yang akurat. Dia mencontohkan, pemerintah Singapura sudah mulai mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya untuk mempelajari digital law untuk mengatur sisi regulasi bisnis berbasis digital.

Sebab, kata Fithra, aplikasi ojol sejatinya bukan hanya menyangkut sisi bisnis transportasi semata. Terdapat banyak aspek yang melingkupi platform tersebut. Untuk itu, dia menyarankan kepada pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan penerapan tarif ojol yang berorientasi terhadap kesejahteraan pengemudi.

“Kita kan juga tahu, pemerintah dan aplikator kerap menghitung ini hanya upah pengemudinya saja, tanpa menghitung jam kerja pengemudi itu sendiri,” kata Fithra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement