REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku industri hingga komunitas halal di Tanah Air menantikan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Jaminan Produk Halal (JPH) yang hingga saat ini belum juga disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Regulasi tersebut, diharapkan dapat memberi kemudahan yang nyata bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Khususnya agar bisa bersaing dan bertahan di industri halal.
Salah satu komunitas halal, My Halal Kitchen, berharap, RPP JPH yang tinggal menunggu pengesahan menjadi instrumen pelayanan umum yang bisa bermanfaat. Bukan sekadar mengurusi sertifikasi yang mensyaratkan biaya besar.
“Jangan sampaik UMKM dibebani dengan biaya yang berat serta prosedur yang rumit,” kata Pendiri Komunitas My Halal Kitchen, Meili Amalia kepada Republika.co.id, Ahad (14/4).
Meili mengatakan, sejumlah negara di dunia, meskipun bukan dihuni oleh penduduk mayoritas Muslim, telah memprioritaskan industri makanan dan minuman halal. Bahkan, para pelaku diberikan sejumlah insentif khusus bagi mereka yang akan menjalani sertifikasi. Menurutnya, hal itu karena kesadaran akan pasar halal yang sangat potensial di pasar global.
Sementara itu, di kawasan ASEAN, terdapat Asean Free Trade (AFTA). Semestinya pemerintah sudah menyadari bahwa dengan keberadaan perjanjian perdagangan bebas itu, hal-hal birokrasi semacam sertifikasi halal dipermudah tanpa menurunkan kualitas. Sebab, kata Meili, diakui atau tidak, sertifikat halal akan menjadi penghalang masuknya produk halal impor.
Ia mengaku, para anggota komunitas sudah sangat berharap PP JPH segera ditandatangi agar adanya titik terang dan kejelasan bagi para industri makanan dan minuman (mamin) halal dalam negeri. Meili mengaku, kemajuan produk mamin halal dari UMKM belum begitu signifikan karena sebagian besar masih berjalan secara sukarela tanpa ada dorongan konkret dari pemerintah.
Adapun sektor industri halal yang mengalami perkembangan pesat, yakni untuk produk-produk kosmetik yang telah diberikan logo halal dalam kemasan. Bagi konsumen yang cerdas, kata dia, adanya logo halal telah membantu peningkatan penjualan di dalam negeri.
“Jadi jangan sampai sertifikasi halal ini dijadikan ajang pemasukan pundi-pundi di Kementerian Agama yang akhirnya bukan dimanfaatkan dalam rangka pelayanan masyarakat,” ujarnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan, yakni terkait keberadaan Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor produk halal. Meili menyatakan, jumlah produk halal yang harus disertifikasi jumlahnya menembus jutaan. Oleh sebab itu, pemerintah harus memastikan kapasitas lembaga yang akan ditugaskan melayani sertifikasi.
Sementara itu, Ketua Halal Corner, Aisha Maharani, mengatakan, keberadaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, setidaknya telah membantu industri halal dari sisi kepastian hukum dari negara. Meskipun, cukup terlambat dibanding banyak negara yang telah memulai jauh lebih dahulu.
Bagi Halal Corner, terdapat dua hal yang diharapkan akan dipetakan dalam PP JPH, yakni dorongan dari segi konsumen dan pelaku industri. Dari sisi konsumen, Aisha mengatakan, konsumen menjadi elemen yang penting jika industri halal memang akan difokuskan pemerintahan ke depan.
Karena itu, dibutuhkan suatu ekosistem yang membuat konsumen bisa mendapatkan informasi dengan transparan dan mudah akan ketersediaan produk halal. Khususnya di sektor makanan dan minuman yang akan dijumpai setiap saat.
Sementara, untuk sektor nonmakanan dan minuman pun wajib tersedia informasi mengenai bahan baku. Itu menjadi penting karena negara-negara yang membangun industri halalnya melalukan hal serupa.
Adapun dari sisi industri, Aisha mengatakan, sertifikasi sejatinya harus menjadi instrumen yang memudahkan, bukan sebaliknya. Tidak hanya mengandalkan kecepatan dalam proses administrasi sertifikasi, tapi juga manfaat apa yang benar-benar akan diperoleh bagi pelaku industri.