REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah tetap menargetkan laju defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) 2,5 persen sampai akhir tahun. Optimisme ini disampaikan di tengah prediksi Dana Moneter Internasional (International Moneter Fund/ IMF) yang memproyeksikan CAD tahun 2019 mencapai 2,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adrianto memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi pada 2019 tidak akan mengecewakan. Salah satunya dikarenakan impor barang modal yang sudah agak melambat.
"Impor yang masih ada akan membentuk investasi dan menggerakkan industri," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (11/4).
Adrianto menambahkan, pertumbuhan investasi dan konsumsi masih akan tumbuh baik. Dampaknya, pergerakan ekonomi terbilang positif sehingga mampu menekan defisit CAD hingga 2,5 persen. Target tersebut lebih rendah dibanding dengan realisasi tahun lalu, yakni 2,98 persen terhadap PDB.
Adrianto mengakui, defisit neraca perdagangan terutama memberikan tekanan terhadap CAD. Kesenjangan antara impor dengan ekspor yang masih tinggi menjadi faktor utama kondisi ini. Oleh karena itu, pemerintah akan fokus untuk meningkatkan tingkat dan nilai ekspor dalam mengatasi defisit.
Menurut Adrianto, dari sisi ekspor, pemerintah mulai memprioritaskan dorongan terhadap sektor jasa. Pada bulan lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32 Tahun 2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai PPN.
"Regulasi ini terkait perluasan ekspor jasa yang dikenakan PPN 0 persen," katanya.
Melalui ekspor jasa, Adrianto berharap, dapat membantu meningkatkan dan mengurangi defisit ekspor jasa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan jasa masih mencatat defisit 7,1 miliar dolar AS sepanjang tahun lalu. Hal ini turut menambah beban CAD yang semakin melebar.
Di sisi lain, ekspor barang terus diperkuat. Adrianto menyebutkan, salah satu upaya pemerintah adalah penyederhanaan prosedur ekspor. Yakni dengan mengurangi pengenaan kewajiban laporan surveyor (LS) dan mengruangi komoditas dalam daftar larangan terbatas (lartas). Upaya ini dilakukan karena pemerintah menganggap terdapat beberapa kewajiban eksportir yang sebenarnya dapat diminimalisir untuk menghindari ekonomi biaya tinggi.
Cara lain yang disebutkan Adrianto adalah perluasan pasar. Pemerintah, terutama melalui Kementerian Perdagangan, kini sedang mencoba menembus ke negara tujuan ekspor non-tradisional. "Misalnya saja negara-negara di Afrika," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, proyeksi IMF terhadap CAD Indonesia memperlihatkan kepercayaan IMF terhadap ekonomi Indonesia. Sebab, angka prediksi IMF (2,7 persen) jauh lebih rendah dibanding dengan realisasi tahun lalu (2,98 persen).
Tapi, Iskandar mengakui, proyeksi IMF masih lebih tinggi dibanding dengan pencapaian 2017 dan tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara ekonomi maju seperti Amerika Serikat dan China. "Di tengah perdagangan global yang menurun akan sulit meningkatkan ekspor yang besar," tuturnya.
Kondisi ekonomi global yang menunjukkan perlambatan membuat permintaan pasar internasinal terhadap produk Indonesia menurun. Namun, Iskandar memastikan, pemerintah telah melakukan upaya dengan membuat kebijakan yang bertujuan meningkatkan ekspir. Di antaranya simplifikasi ekspor dan percepatan perizinan via Online Single Submission (OSS).
Selain itu, Iskandar menambahakn, pemerintah terus fokus membangun infrastruktur dan pemberian tax holiday untuk industri pionir yang melakukan ekspor. Substitusi impor juga terus dilakukan seiring dengan membuat berbagai perjanjian dagang dengan negara lain. "Pendidikan dan pelatihan vokasi turut dilakukan," ujarnya.