REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini masih berada di rentang 5,1 sampai 5,2 persen. Pertumbuhan tersebut banyak didukung oleh konsumsi rumah tangga yang stabil sejak kuartal ketiga tahun lalu. Pada rentang waktu itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 5,0 persen yang kemudian meningkat menjadi 5,08 persen pada kuartal terakhir.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, sampai Februari, pertumbuhan indeks penjualan riil juga menunjukkan kenaikan. Tercatat, pada kuartal ketiga 2018, pertumbuhannya mencapai 4,6 persen yang kemudian naik 4,7 persen di kuartal berikutnya.
"Melihat hal ini, prospek pertumbuhan ekonomi kita untuk di atas lima persen masih tinggi," ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (9/4).
Sementara itu, proporsi penggunaan pendapatan rumah tangga relatif stabil dengan 67 persen pendapatan masyarakat dialokasikan untuk konsumsi. Hanya saja, untuk tabungan dan cicilan pinjaman cenderung turun. Artinya, kemungkinan peluang masyarakat untuk konsumsi masih stabil.
Tapi, Faisal menambahkan, apabila dilihat lebih detail, ada beberapa hal yang harus dipantau. Di antaranya penjualan kendaraan bermotor roda empat yang mengalami penurunan 13,4 persen, meski penjualan motor tumbuh 21 persen. "Artinya, masih ada mix dari indikator ini," tuturnya.
Di sisi lain, ekonomi global turut memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Amerika Serikat dan Cina diketahui sepakat menghentikan perang dagang. Sementara AS tidak akan menaikkan tarif untuk barang impor Cina yang seharga 200 miliar dolar AS, Cina juga akan menghapus beberapa tarif terhadap produk-produk pertanian Amerika.
Gencatan senjata tersebut berdampak pada ketegangan dan ketidakpastian global yang berkurang. Laju pelemahan harga komoditas pun tertahan, seiring dengan peredaman laju perlambatan ekspor Indonesia. Sementara itu, Faisal mengatakan, pengetatan moneter bank sentral AS, The Fed, lebih progresif.
Tapi, apabila dilihat dari pendapatan golongan menengah ke bawah, pertumbuhannya tumbuh dengan lambat. Pada tahun 2016, indeks upah riil untuk buruh bangunan dan asisten rumah tangga berada di kisaran 100 yang hanya tumbuh menjadi 103 pada kuartal pertama tahun ini.
"Kondisi ini kontras dengan pertumbuhan ekonomi yang naik lima persen tiap tahun," kata Faisal.
Bahkan, menurut data yang dirilis CORE, indeks upah riil buruh tani justru mengalami penurunan dari 100 pada 2016 menjadi 99,2 pada kuartal pertama 2019. Menurut Faisal, kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar dampak dari ‘kue’ pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah dan atas.
Dari sisi ekspor impor, terjadi perubahan signifikan sejak Oktober 2018 sampai Februari 2019, Terjadi kontraksi di ekspor maupun impor. Terakhir, pada Februari 2019, Indonesia sempat mengalami surplus. Hanya saja, penyebabnya bukan didorong karena peningkatan ekspor melainkan penurunan impor yang lebih tajam dibanding dengan ekspor.
"Jadi, ke depannya, potensi neraca dagang untuk kembali defisit masih sangat besar, surplusnya hanya temporer," ucap Faisal.
Dilihat dari sektor, struktur pertumbuhan ekspor industri masih di kisaran minus 3,9 persen secara year-on-year (YOY) yang berarti mengalami kontraksi, terutama manufaktur. Namun, terjadi penurunan impor untuk barang konsumsi hingga 26,9 persen (YOY). Artinya, Faisal menjelaskan, kebijakan pengendalian impor yang sudah dilakukan pemerintah sejak beberapa bulan terakhir sudah terlihat memberikan dampak.