Selasa 09 Apr 2019 18:37 WIB

Harga Minyak dan Iklim Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Perubahan iklim dan harga minyak berpengaruh terhadap produksi pangan.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Harga minyak dunia melonjak (ilustrasi)
Harga minyak dunia melonjak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, ada beberapa poin yang perlu diwaspadai pemerintah Indonesia sampai akhir 2019 untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas lima persen.

Di antaranya kecenderungan harga minyak dunia untuk kembali rebound dan perubahan iklim yang berpotensi mengganggu produksi pangan. Faisal menjelaskan, potensi peningkatan kembali harga minyak dunia menimbulkan dua pertanyaan.

Baca Juga

Pertama, bagaimana harga bbm domestik dan tarif listrik sampai akhir tahun, terutama setelah pemilihan presiden (pilpres) pada pertengahan April 2019. "Selain itu, bagaimana dengan defisit migas, mengingat kita ingin memperbaiki neraca perdagangan," ujar dia, dalam diskusi di Jakarta, Selasa (9/4).

Poin yang patut diwaspadai berikutnya adalah perubahan iklim. Faisal menyebutkan, kondisi ini berpotensi mengganggu produksi pangan yang dikhawatirkan dapat berdampak terhadap inflasi harga pangan di pasaran.

Ketiga, penurunan harga komoditas lebih dalam. Faisal mengatakan, poin ini tidak hanya berdampak pada defisit neraca perdagangan, juga terhadap daya beli masyarakat.  Terakhir, sejauh mana dampak perlambatan ekonomi global terhadap ekspor daripada impor.

Faisal memprediksi, apabila pengendalian impor yang telah dilakukan pemerintah sejak akhir tahun lalu berjalan dengan baik, maka impor akan lebih sedikit tertahan di tahun ini. Dampaknya, defisit perdagangan dapat berkurang.

Tapi, Faisal menambahkan, apabila tekanan ekspor masih sangat besar, kondisi ini akan mengubah situasi. Artinya, defisit neraca dagang dapat tetap lebar. "Kita melihat, ekspor kita masih minus secara year on year," ujarnya.

Sementara itu, yang perlu menjadi perhatian dalam jangka menengah dan panjang adalah jebakan kelas menengah. Faisal menjelaskan, kondisi tersebut dapat terjadi apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tertahan di lima persen.

Untuk menghindarinya, Indonesia harus mendorong pertumbuhan ekonomi setidaknya tujuh persen per tahun dan bertahan pada level tersebut selama beberapa dekade. "Ini harus diupayakan segera mungkin pada saat masih menikmati bonus demografi," kata Faisal.

Apabila terjebak di kelas menengah, Faisal mengatakan, Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara lain, terutama Malaysia dan Thailand. Dampaknya, tingkat kesejahteraan masyarakat kita pun cenderung terbelakang dengan standar lebih rendah.

Permasalahan lain adalah ketimpangan ekonomi antar wilayah yang tetap lebar dalam 20 tahun terakhir. Pada 1998, saat krisis ekonomi, porsi Jawa terhadap keseluruhan ekonomi Indonesia masih sama dengan kondisi di tahun ini, yakni 59 persen. Tidak ada pergeseran atau shifting dari Jawa ke luar Jawa, seperti Sumatera yang masih berkontribusi 21 persen.

Berikutnya, Faisal menjelaskan, permasalahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi adalah revitalisasi industri manufaktur. Pemerintah harus melakukan langkah strategis agar pertumbuhan industri manufaktur yang saat ini masih 4,27 persen dapat tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi.

Faisal mengatakan, pemerintah harus banyak berkaca dari negara tetangga yang memiliki pertumbuhan industri manufaktur hingga double digit. Sebut saja Vietnam, Korea dan Cina. "Ini harus jadi agenda ke depan, apalagi harga komoditas akan cenderung melambat di pasar global," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement