REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kurnia Toha menilai, penunjukkan impor bawang putih kepada Badan Usaha Logistik (Bulog) merupakan langkah yang diskriminatif. Sebab, selain bukan sebagai pelaku usaha yang menangani importasi, Bulog juga tidak dikenakan wajib tanam sebesar lima persen dari kuota impor yang ditentukan.
Sebelumnya diketahui, pemerintah menunjuk Bulog sebagai pelaksana importasi bawang putih sebesar 100 ribu ton guna meredam lonjakan harga komoditas tersebut di pasaran. Sebelum kebijakan itu diwacanakan ke publik, harga bawang putih sempat menyentuh Rp 40 ribu-Rp 45 ribu per kilogram (kg) di level pedagang akhir.
Menurut Kurnia, bila kebijakan importasi tanpa kewajiban tanam itu dilakukan Bulog, imortir swasta akan dirugikan dan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Padahal, kebijakan wajib tanam dari importasi yang dilakukan sudah cukup baik dan dapat meminimalisasi ketergantungan impor.
“Importir pasti akan berat. Jadi lebih baik dihindari saja importasi oleh Bulog ini,” kata Kurnia saat dihubungi Republika, Ahad (7/4).
Kendati demikian dia menilai, ada kemungkinan kebijakan penunjukkan importasi kepada Bulog karena ada kecurigaan dari pemerintah bahwa ada importir yang melakukan penumpukan barang atau kartel. Meski hal itu terjadi, dia menilai kebijakan importasi kepada Bulog tetap tidak bisa dibenarkan.
Alasannya, jika sektor swasta bermain dalam pengelolaan produksi maupun stok, pemerintah perlu memainkan kontrol terhadap mekanisme tersebut. Selain itu, pihaknya mengatakan pemerintah juga bisa melibatkan KPPU untuk menindaklanjuti kecurigaan kartel oleh importir yang dimaksud.
“Kami bisa lakukan penelusuran kan, apakah benar itu ada penumpukan barang sehingga harga jadi mahal di pasaran,” katanya.
Dia menjelaskan, bila terjadi penumpukan barang atau kartel yang dilakukan oleh pihak swasta, KPPU bisa melakukan penegakkan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun apabila ketersediaan komoditas tersebut memang berkurang, kata dia, importir berhak diberikan kesempatan untuk melakukan importasi sesuai dengan kuota yang dibutuhkan dan direkomendasikan pemerintah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan usaha tidak sehat disebutkan, pelaku kartel dapat dikenai sanksi denda dengan jumlah maksimal Rp 25 miliar. Menurut Kurnia, sanksi tersebut masih relatif rendah dibanding dengan sanksi kartel yang diberlakukan negara-negara lainnya.
“Untuk itu saat ini kami sudah mengajukan amandemen undang-undang tersebut agar supaya sanksi dendanya bisa dinaikkan,” katanya.
Senada dengan hal tersebut, Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mempertanyakan langkah pemerintah dalam menunjuk Bulog sebagai pelaksana impor bawang putih. Menurutnya, selain tidak berkeadilan, keputusan itu akan membuat persaingan usaha semakin tidak sehat.
“Ujung-ujungnya pelaku usaha swasta bisa collapse bila impor ini tetap dilakukan oleh Bulog,” katanya.
Diketahui, dalam operasi pasar (OP) yang dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan) pada akhir pekan lalu, pemerintah mengeluarkan stok bawang putih importir sebanyak 90 ribu ton yang akan disalurkan ke level pedagang. Kementan mematok harga sebesar Rp 18 ribu per kg untuk bawang putih dari rata-rata harga sebelumnya di tingkat agen berkisar Rp 25 ribu-Rp 26 ribu per kg.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan Mohammad Ismail Wahab menjelaskan, masih ada beberapa importir yang memiliki cadangan stok bawang putih untuk menjaga stabilitas pasokan seiring belum dikeluarkannya izin impor oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).