REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Sudah lama tak terdengar, kapal-kapal yang menggunakan jaring pukat harimau atau trawl kembali masuk perairan Lampung, belakangan ini. Nelayan yang tergabung dalam Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) telah mengeluhkan beroperasinya kapal-kapal tersebut di wilayah perairan dalam Kabupaten Pesawaran.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh, Jumat (5/4), para nelayan lokal mulai mengeluhkan beroperasinya kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap trawl di perairan Teluk Lampung. Nelayan-nelayan lokal terkena imbas dengan keberadaan kapal-kapal tersebut, karena dituduh menggunakan alat tangkap trawl yang telah dilarang pemerintah.
Keluhan nelayan setempat menjadi sorotan KTNA Lampung, karena sudah meresahkan nelayan lainnya yang sudah tidak lagi menggunakan alat tangkap tersebut. KTNA Lampung berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung memonitor dan memberikan tindakan tegas kepada kapal-kapal yang melaut di perairan Lampung menggunakan alat tangkap trawl tersebut.
“Kami meminta Dinas Kelautan dan Perikanan dan Polari (Kepolisian Perairan) menindak kapal-kapal tersebut, agar nelayan yang tidak menggunakan alat tangkap tersebut tidak menjadi tuduhan,” kata Ketua KTNA Lampung Kaslan.
KTNA Lampung telah berkoordinasi dengan KTNA Kabupaten Pesawaran terkait informasi adanya kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang tersebut. Sucipto dari KTNA Pesawaran, berkoordinasi dengan nelayan setempat untuk mengungkap keberadaan kapal yang menggunakan alat tangkap trawl tersebut.
Ia mengatakan alat tangkap trawl tersebut mengancam keberadaan ekosistem bawah laut seperti terumbu karang, apalagi kapal-kapal tersebut beroperasi dekat kawasan wisata laut seperti di Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran.
Dalam waktu dekat, KTNA Pesawaran akan mengkomunikasikan adanya oknum yang melakukan praktik menangkap ikan menggunakan trawl di perairan dalam kawasan Pesawaran. “Kami akan selidiki dengan nelayan setempat apa benar ada kapal pakai trawl,” katanya.
Menurut dia, bila kapal-kapal tersebut tidak ada tindakan, maka akan mengancam ekosistem bawah laut apalagi di kawasan destinasi wisata laut unggulan seperti Pulau Pahawang dan lainnya.
Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona sudah mendapat informasi terkait mulai masuknya kapal-kapal nelayan yang menggunakan pukat harimau di perairan Pesawaran. Menurut dia, Pemkab Pesawaran tidak ada kewenangan untuk menindak, untuk itu ia sudah berkoordinasi dengna Pemprov Lampung untuk menyelidiki kapal-kapal tersebut.
Menurut dia, kewenangan menindak ada di provinsi bukan di kabupaten. Ia sudah melaporkan indikasi tersebut kepada Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Lampung untuk segera ditindaklanjuti, agar keutuhan wilayah desitinasi wisata di kabupatennya tetap terjaga. Pihak provinsi segera melakukan patroli dan menyelidiki apakah kapal-kapal itu memiliki izin.
Kepala Desa Pulau Pahawang dan Legundi secara tertulis sudah memberikan laporan ke Pemkab Pesawaran, dengan beraktivitasnya kapal-kapal yang menangkap ikan menggunakan jaring trawl. Nelayan setempat telah memergoki ada empat kapal yang menggunakan pukat harimau dalam menangkap ikan.
Kapal-kapal tersebut beroperasi di perairan Pulau Pahawang. Warga telah memantau aktivitas kapal tersebut, saat memancing ikan. Salah seorang warga menyatakan, kapal-kapal menggunakan trawl telah mencari ikan di perairan Pulau Pahawang sejak sepekan lalu. Seharusnya, kapal-kapal itu tidka mencari ikan di perairan tersebut apalagi menggunakan alat tangkap trawl yang dilarang.
Mengenai pengetahuan tentang kondisi cuaca bagi nelayan Lampung, Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Panjang Lampung Sugiyono mengatakan, pemahaman nelayan di wilayah Lampung masih minim terkait dengan membaca kondisi cuaca belakangan ini. “Pemahaman nelayan di Lampung masih kurang soal membaca cuaca,” katanya.
Hal tersebut diketahui, tatkalan pihaknya melakukan studi lapangan ke berbagai komunitas nelayan di Lampung. Menurut dia, hasilnya beberapa tempat yang bermukim nelayan, masih banyak yang belum faham dengan membaca kondisi cuaca yang telah diberikan. Meski belum ada survey khusus, ia menyatakan sekitar 50 persen nelayan belum bisa membaca kondisi cuaca, sehingga praktiknya tidak menguntungkan nelayan ketika melaut.
Sugiyono mengatakan, pihaknya sudah melakukan upaya pembenahan terkait peningkatan pemahaman nelayan terhadap cuaca. Diantaranya mengadakan Sekolah Lapang Nelayan (SLN). Menurut dia, SLN sandarannya adalah para penyuluh yang langsung bersentuhan dengan nelayan dan setiap tahun.