REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satgas Waspada Investasi (SWI) menggelar sosialisasi mengenai investasi ilegal kepada masyarakat di Gedung Balaikota, Jakarta Selatan, Jumat (5/4). Sepanjang tahun 2017-2019, SWI telah menghentikan 235 entitas investasi ilegal dan 803 fintech ilegal.
Selama 10 tahun terakhir, jumlah kerugian masyarakat akibat kegiatan investasi ilegal ditaksir mencapai Rp 88,8 triliun. SWI mengimbau agar masyarakat waspada sebelum membenamkan dananya di sebuah entitas.
Ketua SWI, Tongam Lumban Tobing mengatakan, masyarakat harus mengedepankan asas 2L yaitu Legal dan Logis. Periksa legalitas entitas dan waspada terhadap imbal hasil atau keuntungan yang tidak rasional. Masyarakat harus bisa membedakan investasi bodong.
Sementara, fintech ilegal dapat dihindari dengan cara meminjam sesuai kebutuhan dan kemampuan. Selain pinjam hanya untuk keperluan produktif, masyarakat juga perlu memahami manfaat dan risikonya.
"Pinjamlah pada fintech peer to peer lending yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," katanya di Balai Kota.
Tongam mengatakan sejumlah kasus investasi ilegal telah marak dan menjadi pembelajaran. Mulai dari kasus Pandawa Group di Depok, Jawa Barat yang memakan korban sebanyak 549 ribu orang. Total kerugiannya ditaksir sebesar Rp 3,8 triliun.
Selain itu kasus Dream Freedom yang menelan 700 ribu korban dengan kerugian Rp 3,5 triliun. Yang terbaru, kasus empat travel umrah yang merugikan 164.757 ribu orang dengan kerugian sekitar Rp 3 triliun.
"Dari semua kasus itu, kerugian masyarakat tidak dapat dicover oleh aset yang disita dalam rangka pengembalian dana masyarakat," katanya.
Investasi bodong adalah musuh semua pihak. Penyebab utama korban terjerat biasanya karena tergiur keuntungan yang tinggi. Ini bisa terjadi karena masyarakat belum paham tentang investasi.
Namun saat sudah terlanjut, mereka akhirnya punya kesan buruk pada lembaga keuangan. Banyak juga korban yang akhirnya menjadi terganggu secara psikis. Secara umum, investasi ilegal juga mengganggu proses pembangunan negara.
SWI menekankan agar masyarakat tahu benar karakteristik investasi bodong. Mereka biasanya mengiming-imingi calon korban dengan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat. Investasi ini juga biasanya bersifat member get member.
Mereka bahkan memanfaatkan tokoh masyarakat atau agama untuk menarik minat. Beberapa mengklaim bebas risiko meski legalitasnya tidak jelas, tidak punya izin usaha, izin kelembagaan, atau bahkan memalsukannya.
"Sebaiknya, sebelum investasi harus teliti dengan legalitas, pahami proses bisnisnya, manfaat dan risiko, juga pahami hak dan kewajibannya," kata Tongam.
Pada dasarnya, penanganan investasi bodong cukup kompleks atau rumit. Ini karena masyarakat pun ternyata masih secara tidak langsung mudah terjerat. Pelaku, peserta, dan modusnya terkadang berbeda-beda.
Mereka tidak memiliki aset atau lebih kecil dari kewajiban. Selain itu, ada dampak sosial yang muncul pada penanganan. Maka penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya.
Entitas bodong yang ditangani oleh SWI cukup beragam, mulai dari investasi uang, valuta asing, deposito, cryptocurrency, fintech, arisan online, alat kesehatan, kosmetik, marketplace, agribisnis, investasi emas, berlian, koperasi hingga berkedok bank syariah.
Pada 2017, mayoritas investasi bodong adalah investasi uang secara langsung. Pada 2018 dan 2019 menjadi fintech pinjam-meminjam. Ada 404 entitas pada 2018 dan 399 entitas pada 2019 yang diberangus aplikasinya.
SWI sendiri merupakan lembaga yang terdiri dari beberapa lembaga pemerintahan. Tahun 2018, SWI terdiri dari 13 lembaga dan kementerian. Mulai dari OJK, Kementerian, BPKM, Bank Indonesia, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Masyarakat perlu tahu bahwa saat ini OJK mencatat hanya ada 99 perusahaan fintech pinjam meminjam yang legal. Sementara jumlah yang ilegal sebanyak 803 entitas. Menjamurkan fintech ilegal karena mudahnya membuat aplikasi dan permintaan masyarakat yang besar.
Sebanyak 40 persen asalnya tidak diketahui. Sementara 22 persen dari Indonesia, 15 persen dari Amerika Serikat, 10 persen dari Singapura, enam persen dari Cina, dua persen dari Malaysia, satu persen dari Hongkong, satu persen dari Rusia, dan tiga persen lainnya.