Selasa 02 Apr 2019 10:30 WIB

Indef: Data E-Commerce adalah Urgensi

Tanpa data e-commerce, pemerintah berpotensi kehilangan pajak.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Perniagaan elektronik atau e-commerce.
Foto: Pixabay
Perniagaan elektronik atau e-commerce.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, data valid mengenai transaksi dagang elektronik atau e-commerce merupakan sebuah urgensi yang harus dimiliki Indonesia. Sebab, data tersebut merupakan sebuah dasar bagi pemerintah untuk merancang kebijakan di tengah rencana pengembangan ekonomi digital dalam negeri. 

Rusli menilai, setidaknya ada dua dampak yang akan dirasakan apabila pemerintah tidak memiliki data e-commerce. Pertama, ada undervalue dalam sektor perdagangan, termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB). "Misal, PDB kita seharusnya 10, tapi ternyata yang tercatat sembilan. Otomatis, akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kita," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (2/4).

Baca Juga

Dampak berikutnya adalah potensi kehilangan pajak dari industri e-commerce. Terlebih, kemarin, Kementerian Keuangan baru saja menarik regulasi mengenai pelaksanaan pajak e-commerce. Rusli mengatakan, saat ini, jadi tidak ada regulasi yang mengatur secara khusus mengenai perlakuan pembayaran pajak di perusahaan-perusahaan tersebut. 

Rusli menjelaskan, salah satu tantangan pemerintah saat ini dalam mengumpulkan data mengenai e-commerce adalah membangun kepercayaan perusahaan. Ia mengakui, tidak mudah bagi sebuah institusi swasta berbagi data, terutama omzet, kepada siapapun termasuk pemerintah. Terlebih, ini menjadi pertama kalinya pemerintah mendata mengenai e-commerce. 

Melihat tantangan tersebut, Rusli menambahkan, pekerjaan pemerintah sekarang adalah membangun rasa percaya perusahaan e-commerce. Sebab, apabila ekosistem ekonomi digital berjalan terus tanpa ada data yang valid, Indonesia akan banyak kehilangan kesempatan. "Kita tidak dapat melihat transaksi ekonomi secara real," katanya. 

Jika perusahaan yang bergerak di e-commerce masih tidak mau memberikan data, Rusli menganjurkan pemerintah untuk melakukan secara manual. Misalnya, melalui survei, seperti yang sudah sering dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS).

Dalam survei tersebut, BPS sebagai lembaga independen mempertanyakan berapa pengeluaran masyarakat atau rumah tangga untuk berbelanja online dan barang apa saja yang biasa dibeli. "Memang membutuhkan waktu, tapi bisa jadi data valid," ujar Rusli. 

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mulai mengumpulkan data e-commerce sejak awal 2018. Data yang akan direkam antara lain data transaksi, penggunaan teknologi, investasi luar dan dalam negeri hingga metode pembayaran. 

Kepala BPS Suhariyanto mengakui, proses pendataan masih menemukan banyak hambatan. Ia bahkan terlihat pesimistis data yang sudah mulai dikoleksi pada tahun lalu itu dapat berhasil dikumpulkan dan dianalisa sampai akhir 2019. 

Suhariyanto menyebutkan beberapa faktor yang menjadi kendala. Salah satunya, belum ada benchmark bagi institusi dalam mengoleksi informasi yang dibutuhkan mengingat ini menjadi kegiatan perdana BPS terkait data transaksi e-commerce. "Sesuatu yang baru, sehingga agak susah bagi negara kita," ujarnya ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (1/4).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement