Senin 01 Apr 2019 15:52 WIB

Pasar Ekspor Batu Bara Tahun Ini Diprediksi Menurun

Industri pertambangan batu bara hanya berkontribusi 4-6 persen terhadap PDB.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Tambang batu bara
Tambang batu bara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Santernya isu lingkungan dan gerakan peralihan negara negara maju untuk memakai sumber energi bersih diprediksi akan sangat mempengaruhi pasar ekspor batu bara. Padahal, selama ini pasar ekspor batu bara merupakan salah satu tumpuan pendapatan negara.

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan beberapa negara seperti China, India, Jepang dan  Korea Selatan sudah menerapkan kebijakan energi jangka panjang untuk membatasi impor batu bara mereka. Hal ini kemudian akan sangat berpengaruh pada penerimaan negara dan daerah.

Baca Juga

"Berkembangnya pembangkit listrik terdistribusi di dalam negeri dalam jangka panjang juga dapat mempengaruhi penerimaan negara dan daerah, serta penyerapan tenaga kerja di sentra produksi batu bara," ujar Fabby di Hotel Ashley, Senin (1/4).

Sektor batu bara memang hanya terkontribusi rata-rata 4 persen-6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Namun ada empat provinsi yang memiliki produksi batu bara dengan kontribusi mencapai 19-35 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Keempat provinsi itu antara lain, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan,

Keberlanjutan ekonomi Indonesia dan keempat provinsi itu akan berhadapan dengan risiko yang besar jika mengabaikan fakta potensi penurunan produksi dan permintaan global. Pemerintah seharusnya tak bergantung kepada permintaan impor batu bara dari sejumlah negara.

Untuk itu, IESR merekomendasikan agar pemerintah mulai memasukkan risiko perubahan industri energi global di dalam perencanaan pembangunan nasional dan mulai menyiapkan cetak biru rencana pembangunan ekonomi lokal untuk mengantisipasi industri batubara yang berpotensi mengalami 'sunset' dalam 10 tahun ke depannya.

Di sektor pembangkit listrik, IESR merekomendasikan pemerintah dan PLN untuk mempertimbangkan potensi berkembangnya pembangkit terdistribusi dan grid deflection yang akan meningkatkan risiko 'stranded asset' untuk PLTU yang ada.

IESR juga mencatat biaya pembangkitan PLTU batu bara akan semakin meningkat ke depan, karena peningkatan konsumsi batu bara per unit energi dan penurunan rata-rata efisiensi pembangkit.

"Kita lihat sebenarnya ada inefisiensi dalam pembakaran batu bara, dan ini dapat terlihat dari kenaikan emisi. Indonesia juga negara dengan intensitas karbon terbesar di dunia," ujarnya.

Hal itu akan semakin memperburuk daya saing PLTU batu bara dengan pembangkit energi terbarukan yang menunjukkan kecenderungan beban biaya yang semakin murah di masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement