Ahad 31 Mar 2019 17:41 WIB

'PMK e-Commerce Memang Belum Siap'

Permasalahan dalam PMK adalah ketidakadilan dalam penetapan objek kepatuhan pajak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Perniagaan elektronik atau e-commerce.
Foto: Pixabay
Perniagaan elektronik atau e-commerce.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics (Indef) Bhima Yudhistira menilai, sosialisasi yang minim kepada sejumlah pihak menjadi penyebab utama munculnya informasi simpang siur terkait pajak e-commerce. Ini yang menyebabkan pemerintah menarik Peraturan Menteri Kuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce).

Karena sosialisasi yang minim, Bhima menjelaskan, pengusaha e-commerce juga menjadi tidak siap untuk menerapkan regulasi tersebut. Baik dari sisi penyedia platform marketplace hingga pengusaha skala besar maupun kecil di dalamnya.

"Waktu yang mereka punya tidaklah banyak," ujar Bhima ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (31/3).

Permasalahan lain dalam PMK e-commerce adalah ketidakadilan dalam penetapan objek kepatuhan pajak. Bhima menuturkan, peraturan tersebut lebih fokus pada platform marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia dan sebagainya. Sedangkan, penjual di media sosial Twitter, Instagram dan Facebook yang jumlahnya juga banyak tidak mendapat kewajiban serupa.

Menurut Bhima, persamaan perlakuan tersebut sebenarnya sudah lama disampaikan oleh asosiasi e-commerce. Mereka merasa, penjual di media sosial juga harus memiliki kejelasan mekanisme pelaporan hingga pembayaran pajak.

Bhima menganjurkan pemerintah untuk mematangkan seluruh aspek yang dibutuhkan sebelum merancang regulasi e-commerce. Khususnya terkait koordinasi dengan kementerian/ lembaga terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). "Ajak seluruh pemangku kepentingan untuk berdiskusi dulu sampai matang, baru aturan bisa dikeluarkan," ucapnya.

Ketua Bidang Ekonomi Digital iDEA Bima Laga menuturkan, pihaknya sudah kerap menyampaikan keluhan mengenai pengawasan transaksi di media sosial yang kini tidak ada aturan kepada pemerintah. Sebab, menurut catatan iDEA, penjualan di media sosial berkontribusi atas 66 persen dari total transaksi online di Indonesia pada 2017. Transaksi melalui marketplace sendiri hanya mencapai 16 persen.

Apabila pengawasan itu terus tidak mendapat perhatian, Bima cemas, terjadi pergeseran platform transaksi dari marketplace ke media sosial. Dampaknya, pemerintah akan semakin sulit melakukan pengawasan dan tidak terjadi ekosistem yang kondusif. "Ini harus ditekankan, aturan ini ada level playing fieldnya," tuturnya.

Ke depan, Bima berharap agar pemerintah dapat berdiskusi secara rutin dengan asosiasi apabila ingin membuat regulasi mengenai ekonomi digital, terutama terkait e-commerce. Ia yakin, pemerintah dan pengusaha memiliki tujuan sama, yaitu membuat ekosistem ekonomi digital dalam negeri yang aman serta saling menguntungkan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan menarik PMK e-commerce. Menurutnya, keputusan tersebut harus dilakukan  setelah melihat banyak informasi simpang siur dan keributan yang tidak produktif, termasuk anggapan bahwa pemerintah memberlakukan pajak baru. "Padahal, tidak ada pajak baru sama sekali dalam PMK itu," ujarnya di Jakarta, Jumat (29/3).

Sri menilai, PMK ini telah memunculkan perspesi seolah-olah yang membayar pajak hanyalah pengusaha konvensional, sedangkan pengusaha ekonomi digital tidak melakukannya. Ia menampik isu tersebut dan menegaskan, pengusaha yang memanfaatkan platform online juga sudah menunaikan kewajiban bayar pajak. PMK e-commerce hanya membahas pengumpulan informasi mengenai para pelaku usaha.

Meski PMK e-commerce ditarik, Sri menegaskan perlakuan perpajakan akan tetap diberlakukan sama kepada seluruh masyarakat sesuai dengan regulasi yang berlaku. "Setiap masyarakat Indonesia yang mendapatkan penghasilan, maka Anda memiliki kewajiban membayar pajak seperti biasa," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement