Rabu 27 Mar 2019 23:58 WIB

GAPMMI: Semangat ASEAN Bersatu Sudah Berkurang

Konstelasi perdagangan di dunia saat ini mengalami perubahan dengan persaingan ketat.

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Gita Amanda
Perdagangan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Perdagangan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konstelasi perdagangan di dunia saat ini mengalami perubahan dengan persaingan yang semakin ketat. Hal itu membuat semua negara seolah proteksionis ingin menyelamatkan diri sendiri.

"Bahkan sppirit ASEAN Bersatu sudah berkurang, antar ASEAN bersaing," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman pada acara Talkshow Bisnis PAS FM di Hotel Millenium, Rabu (27/3). Sebagai negara besar di Asia Tenggara, Adhi pun meminta Indonesia untuk menginisiasi kembali semangat ASEAN.

Proteksionis negara ASEAN ini terlihat dari adanya pemberlakuan non tarif. Selain itu, ia melanjutkan, yang juga menjadi masalah adalah secara tiba-tiba salah satu anggota ASEAN tanpa perundingan apapun, menerapkan aturan sendiri. Terutama untuk industri makanan minuman yang harus menghadapi banyak aturan.

"Tiap negara seolah memiliki cara untuk menghambat," ujar dia.

Untuk itu, Indonesia harus sadar dan perlu mengambil sikap terutama daya saing. "Kita perlu meningkatkan daya saing di dalam negeri dan strategi menyerang keluar," tegasnya.

Terkait penyerangan ini diperlukan investasi di hulu dan hilir dan penguatan industri. Apalagi, industri makanan minuman harus mengimpor bahan baku.

Menurunya, pemerintah perlu memberikan insentif seperti yang dilakukan negara lain. Di Indonesia sebenarnya banyak perusahaan yang potensi ekspor namun enggan melakukan ekspor karena merasa rumit dan memilih berdagang secara lokal. Sementara melakukan perbaikan di dalam negeri, Indonesia telah melakukan banyak

Perjanjian Perdagangan atau PTA yang harus segera diinsentifkan.

Negara-negara emerging market seperti Amerika Latin dan Afrika sangat baik untuk ditembus. Pasar di sana diakui Adhi besar namun tarif menjadi hambatan di pasar tersebut. Tarif pangan olahannya bahkan mencapai di atas 30 persen.

"Cara barter menjadi perundingan sangat baik untuk menembus pasar tersebut," katanya. Untuk itu, pemerintah harus menggandeng dunia usaha yang mengerti bagaimana perundingan dan ekspor yang baik.

Meski berupaya membuka pasar global baru, tujuan tradisional seperti Cina dan Jepang harus dijaga.

Sebelumnya, penurunan ekspor industri pengolahan selama dua bulan pertama tahun ini dinilai disebabkan oleh penurunan permintaan global. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor industri pengolahan sepanjang Januari-Februari 2019 tercatat senilai 19,61 miliar dolar AS atau turun 5,96 persen secara tahunan. Ekspor kedua tujuan utama, yaitu Cina dan Amerika Serikat mengalami konstraksi yang cukup dalam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement