REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Travel Wisata Halal Indonesia (Athin) meminta pemerintah untuk menggencarkan promosi destinasi wisata halal. Permintaan itu seiring wisata halal yang begitu dikenal oleh masyarakat domestik maupun para wisatawan mancanegara.
Sekretaris Jenderal Athin, Cheriatna, menilai, selama ini promosi destinasi wisata halal masih sangat kurang. Padahal, kebutuhan masyarakat, khususnya muslim untuk berwisata dengan nyaman terus meningkat.
“Umat Islam butuh sekali wisata halal. Saya merasa promosi masih kurang giat. Padahal, artis, pejabat, hingga ulama sudah mulai membantu mengenalkan wisata halal,” kata Cheriatna kepada Republika, Sabtu (23/3).
Lebih lanjut, ia menilai, koordinasi lintas instansi di pemerintah, khususnya yang membidangi dunia kepariwisataan masih harus ditingkatkan. Sebab, Indonesia saat ini dapat disebut kalah saing dibanding negara kawasan Asean yang juga mengembangkan destinasi wisata halal.
Tingginya upaya berbagai negara saat ini untuk mengembangkan wisata halal karena telah terbukti sektor pariwisata khususnya yang berbasis halal mampu mendongkrak devisa negara. Menurut Athin, sementara ini destinasi wisata halal di Indonesia yang sudah dikenal hanya Bali dan Lombok.
Selebihnya, masih belum begitu dikenal oleh masyarakat. Termasuk, destinasi 10 Bali Baru yang dicanangkan langsunng oleh Presiden Joko Widodo. “Kita kalah sama negara tetangga, masih belum. Orang sekarang itu kalau tidak pasti makanannya, tempat tinggalnya, dia tidak nyaman. Dia mencari yang halal,” ujarnya menambahkan.
Selain rendahnya promosi, para pelaku usaha travel wisata halal tengah dihadapkan pada masalah tingginya harga tiket pesawat. Sebab, hingga saat ini harga masih tinggi dan dikeluhkan konsumen. Alhasil, kata Cheriatna, banyak pelanggan yang membatalkan wisata karena masalah harga tiket.
Sebaliknya, wisatawan asal Indonesia justru mengalihkan destinasi ke luar negeri karena harga tiket yang relatif lebih terjangkau dengan jangkauan wisata yang lebih luas. Hal itu, diakui dia memang benar terjadi.
“Ini bertentangan dengan target pemerintah yang mau meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan lokal. Tiket ini menentukan karena porsinya 70 persen dalam biaya wisata,” ujarnya.