REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli penerbangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Djoko Sardjadi, mengatakan, perbaikan perangkat lunak atau software pada pesawat Boeing 737 MAX 8 yang dijanjikan oleh Boeing Co menjadi solusi yang cukup tepat untuk saat ini. Sebab, menurut Djoko, terdapat kekurangan pada software sehingga memungkinkan terjadi ketidaksesuaian antara pilot dan pesawat.
Menurut Djoko, sistem terbaru yang dipasang pada MAX membuat pilot terkadang tidak mengetahui kapan perangkat lunak melalukan intervensi kepada pesawat. Alhasil, pilot tidak menyadari apa yang tengah dilakukan sistem hal itulah yang menjadi situasi sulit ketika pesawat sedang terbang.
“Tapi, meskipun pilot juga sadar bahwa sistem sedang melakukan intervensi, saya memandang software masih tidak baik. Ada defisiensi dan cacat dalam software. Jadi harus update,” kata Djoko saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/3).
Setelah software rampung diperbarui, Djoko mengatakan wajib untuk dilakukan uji terbang untuk mengetahui betul perangkat lunak bekerja dengan baik tanpa risiko kegagalan sistem yang fatal. Sebab, kata dia, pilot tidak bisa disalahkan begitu saja.
Hanya saja, Djoko menilai, dampak dari adanya pembaruan software akan membuat penggunaan bahan bakar pesawat menjadi lebih boros. Namun, pemborosan masih dapat ditoleransi.
“Ke depan, dalam jangka menengah juga perlu dilakukan perbaikan hardware (perangkat keras/mesin). Ini sebagai tindak lanjut dari perbaikan software yang menjadi solusi sementara,” kata dia
Karenanya, Djoko mengatakan, perbaikan hardware Boeing generasi MAX harus dilakukan pada produksi yang selanjutnya. Momen ini juga harus dimanfaatkan maskapai di Indonesia dan pemerintah untuk menuntu konsesi kepada Boeing Co.
Sebab, walau bagaimanapun, Indonesia, terutama maskapai Lion Air menjadi pihak yang paling merugi atas insiden kecelakaan Boeing 737 MAX 8 yang terjadi pada Oktober 2018.