Ahad 17 Mar 2019 18:14 WIB

Pemerintah Dorong Produksi Gula Industri

Ada kesenjangan permintaan dan penawaran produksi dan konsumsi gula nasional.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Budi Raharjo
Gula impor
Foto: Antara
Gula impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memacu pertumbuhan industri gula untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Di antaranya, dengan membatasi impor dan memberikan insentif terhadap pabrik gula baru yang melakukan produksi berbasis tebu.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjelaskan, saat ini terjadi kesenjangan antara permintaan dan penawaran berdasarkan data tren produksi dan konsumsi gula nasional. Kekurangan tersebut terpaksa dipenuhi melalui impor. "Terutama untuk raw sugar atau gula kristal mentah, di antaranya untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman," katanya.

Kemenperin mencatat, produksi gula berbasis tebu pada tahun 2018 sebesar 2,17 juta ton, sementara kebutuhan gula nasional mencapai 6,6 juta ton. Saat ini, produksi gula nasional dipasok oleh 48 pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 17 pabrik gula milik swasta. Kemudian, akan ada 12 pabrik baru yang akan didirikan di Jawa dan luar Jawa.

Airlangga menekankan, pemerintah telah berupaya menekan volume impor. Pada tahun 2019, izin kuota impor gula industri sekitar 2,8 juta ton, turun dibanding pada tahun lalu sebanyak 3,6 juta ton. "Kuota impor dipotong lantaran masih ada stok gula impor sekitar 1 juta ton di gudang-gudang industri," ungkapnya.

Untuk menekan volume impor, pemerintah juga aktif mendorong investasi industri gula terintegrasi dengan kebun. Dalam upaya memacu tumbuhnya pabrik-pabrik gula baru dan perluasan pabrik gula yang sudah eksisting, Kemenperin telah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku Dalam Rangka Pembangunan Industri Gula.

Menurut Airlangga, fasilitas itu ini disambut baik oleh investor yang melakukan pembangunan pabrik gula baru sejak 2010 dengan total investasi Rp 30 triliun. Investasi itu juga meliputi 12 pabrik gula baru dengan dua pabrik di antaranya akan beroperasi pada 2019-2020 serta satu pabrik gula eksisting yang sudah melakukan perluasan.

Airlangga pun menjelaskan, kebutuhan gula setiap tahunnya terus meningkat. Misalnya, gula kristal rafinasi (GKR) atau gula mentah yang telah mengalami proses pemurnian untuk sektor industri makanan dan minuman serta industri farmasi Kebutuhan GKR angkanya naik sebesar lima sampai enam persen per tahun, mengikuti pertumbuhan kedua sektor industri tersebut yang mampu di atas tujuh persen per tahun.

Sepanjang 2018, industri makanan dan minuman tumbuh mencapai 7,91 persen, sedangkan industri farmasi tumbuh 7,51 persen pada kuartal I tahun 2018. Tahun ini, industri makanan dan minuman diproyeksi tumbuh signfikan seiring peningkatan konsumsi karena adanya momen pemilihan umum. Sedangkan, kinerja industri farmasi terkatrol melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Untuk itu, dalam menjaga keberlanjutan produktivitas di sektor industri, Kemenperin terus berupaya memastikan ketersediaan bahan baku. Selama ini, aktivitas manufaktur konsisten memberikan efek berantai bagi perekonomian nasional. Di antaranya, melalui peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor.

Dalam upaya peningkatan produksi gula, pemerintah tidak hanya tergantung pada peran pabrik gula atau off-farm, juga peran dari sisi para petani tebu atau on-farm yang pengaruhnya sangat besar. "Petani tebu diyakini bisa memberikan kontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional karena hasil tebu yang berkualitas akan menghasilkan rendemen gula yang tinggi," kata Airlangga.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 yang direvisi menjadi Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi, setiap pembangunan pabrik gula baru wajib terintegrasi dengan perkebunan tebu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement