Kamis 14 Mar 2019 10:20 WIB

'Poin Bebas Bea Masuk Sapi Australia Harus Disikapi Positif'

Panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal mempengaruhi harga daging sapi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Hewan ternak asal Australia saat berada di sebuah peternakan penggemukan sapi di Jakarta, Indonesia.
Foto: ABC
Hewan ternak asal Australia saat berada di sebuah peternakan penggemukan sapi di Jakarta, Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, poin kebebasan bea masuk untuk sapi impor dari Australia ke Indonesia harus disikapi dengan positif. Poin ini tertuang dalam kesepakatan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang sudah ditandatangani kedua pemerintahan pada dua pekan lalu. 

Ilman menambahkan, poin kebebasan tersebut harus diiringi dengan evaluasi untuk memangkas rantai distribusi. Sebab, panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal mempengaruhi harga daging sapi tersebut di pasaran seiring dengan munculnya biaya-biaya tambahan, seperti biaya transportasi. 

Baca Juga

"Daging sapi lokal melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen," katanya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (13/3). 

Ilman menggambarkan, rantai distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi ke pedagang berskala kecil atau ke feedlot. Kemudian, berlanjut ke pedagang berskala besar, pedagang regional, pedagang grosir di rumah potong hewan, pedagang grosir di pasar, pedagang eceran hingga ke konsumen. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah karena biaya-biaya tersebut pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen.

Sementara itu, Ilman menjelaskan, sistem distribusi daging sapi impor hanya membutuhkan maksimal dua titik distribusi untuk mencapai konsumen. Rantai distribusi ini tercipta karena daging sapi impor merupakan produk siap masak. Dampaknya, mereka membutuhkan tempat penggemukan hewan, rumah potong hewan dan para pedagang di tempat penampungan ternak sebelum dapat dikonsumsi. 

Selain itu, pengembangan ternak sapi di Indonesia juga seringkali menghadapi tantangan. Misalnya, kapasitas peternak yang kurang serta minimnya penguasaan mereka terhadap teknik ternak dan teknologi yang efisien.

Ilman memaparkan, efisiensi peternakan dapat dimulai dengan adanya modernisasi praktik peternakan yang berfokus pada minimalisasi biaya produksi. Walau ada sebagian sudah melakukan hal tersebut melalui modernisasi alat pemotongan, tidak sedikit juga masih harus mengeluarkan biaya produksi yang mahal.

"Penyebabnya, karena memang minimnya skala keekonomian peternakan mereka," kata Ilman. 

Selain itu, inovasi di bidang pakan ternak juga perlu gencar dilakukan. Sebab, peternak tidak memiliki kapasitas untuk berinovasi sehingga perlu kerjasama antara peternakan dengan lembaga penelitian di bidang teknologi. Contoh yang sudah ada adalah kerjasama serupa di Sumatera Utara antara peternak dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Terakhir, Ilman menjelaskan, program yang menunjang pengelolaan risiko di industri peternakan sapi perlu terus digalakan. "Satu contoh yang telah dijalankan adalah Fasilitas Asuransi Usaha Ternak Sapi yang telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian," tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement