Rabu 06 Mar 2019 11:24 WIB

'Bisnis Haji dan Umrah Harus Dukung Kepentingan Nasional'

Pemasukan dari perjalanan haji pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 11,9 triliun.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Jamaah Kloter 41 Embarkasi Jakarta-Bekasi memasuki ruang tunggu di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah, Ahad (9/9) dini hari. Kloter tersebut merupakan rombongan pertama yang bertolak pulang dalam gelombang kedua kepulangan jamaah haji.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Jamaah Kloter 41 Embarkasi Jakarta-Bekasi memasuki ruang tunggu di Bandara Amir Muhammad bin Abdulaziz, Madinah, Ahad (9/9) dini hari. Kloter tersebut merupakan rombongan pertama yang bertolak pulang dalam gelombang kedua kepulangan jamaah haji.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menganjurkan agar bisnis perjalanan haji dan umrah dapat mendukung kepentingan nasional. Salah satunya dengan membantu menarik wisatawan mancanegara dari Arab Saudi ataupun negara sekitarnya untuk datang ke Indonesia. 

Menurut Darmin, selama ini, bisnis travel haji dan umrah baru fokus pada upaya memberangkatkan orang Indonesia ke Tanah Suci. Beberapa di antaranya bahkan sudah membuat paket perjalanan ke negara di sekitar Arab Saudi seperti Timur Tengah. "Tapi, kita juga perlu untuk mengundang mereka ke Indonesia agar neraca (berjalan) kita jangan terlalu pincang," ujarnya saat membuka Milad Ikatan Alumni Ekonomi Islam (IAIE) di Jakarta, Rabu (6/3). 

Baca Juga

Darmin menambahkan, peluang lain yang dapat dimanfaatkan pebisnis adalah menyediakan tas produksi lokal. Sebab, selama ini, koper atau tas jinjing yang diberikan biro perjalanan ke jamaah kebanyakan buatan dari Cina. Padahal, Indonesia memiliki banyak UKM yang mampu menghasilkan produk dengan kualitas baik. 

Menurut Darmin, industri travel dapat bekerja sama atau menjalin kemitraan dengan para pelaku UKM. Ia optimistis, industri memiliki energi dan dana untuk membangun sinergitas. Selain meningkatkan kesejahteraan pelaku UKM, upaya ini juga mampu menekan defisit Indonesia terhadap Cina.

Dengan potensi yang besar ini, Darmin menekankan, bisnis syariah dalam industri perjalanan umroh dan haji bukan hanya untuk memenuhi kepentingan pengguna jasanya semata. Lebih dari itu, industri dapat lebih berkontribusi dalam perekonomian nasional, khususnya di sektor riil. 

Darmin menilai, sektor riil kini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi industri syariah di Indonesia. Sebagai outlet permintaan atau demand, sektor riil belum mampu menyerap dan bersinergi secara maksimal dengan sektor keuangan syariah yang bertindak sebagai sisi supply. "Akibatnya, keuangan dan pembiayaan syariah jadi tidak bisa berkembang dengan cepat," katanya. 

Darmin menyebutkan, salah satu sektor riil yang harus dikejar saat ini adalah industri perjalanan umroh dan haji. Dengan industri yang sudah berjalan lama di Indonesia, ia menilai, seharusnya bidang ini mampu disempurnakan dari waktu ke waktu. 

Apalagi, Darmin menambahkan, potensi pasar dari industri perjalanan haji dan umrah terbilang besar. Jamaah haji Indonesia diperkirakan akan terus meningkat yang bisa terlihat dari daftar tunggu atau waiting list. "Tahun depan besarnya 4,34 juta orang dan diperkirakan menjadi 5,2 juta orang pada 2020," tuturnya. 

Dari sisi pendapatan pun, industri ini menghasilkan nominal yang tidak sedikit. Pada 2019, Darmin memprediksi, pemasukan dari perjalanan haji saja mencapai Rp 11,9 triliun yang diprediksi naik menjadi Rp 1476, triliun pada 2022. 

Begitupun dengan umrah yang pada tahun lalu mencapai 1,1 juta jamaah. Selama tiga bulan terakhir pada 2018 saja, setidaknya 256 ribu jamaah umroh Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Angka tersebut tertinggi kedua setelah Pakistan yang mencapai 247 ribu jamaah. "Mereka bisa tinggi karena jauh lebih dekat ke Saudi Arabia," kata Darmin. 

Ketua Umum IAIE yang juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro menuturkan, IAIE senantiasa membentuk jaringan dan kerja sama untuk membangun ekonomi syariah Indonesia. Baik itu bermitra dengan pihak pemangku kepentingan nasional ataupun internasional. 

Di antaranya adalah dengan berperan dalam penyiapan dan ratifikasi Undang-Undang No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Menurut Bambang, regulasi tersebut memuat potensi instrumen keuangan syariah sebagai sumber biaya pembanguna nasional. "Di mana, instrumen ini belum digunakan secara optimal," ujarnya. 

Melalui regulasi tersebut, ekonomi syariah di Indonesia perlahan berkembang. Bambang berharap, instrumen-instrumen dapat terus berkontribusi atas pembangunan ekonomi nasional. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement