REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Perguruan Tinggi untuk Pengembangan Ekspor Indonesia atau University Network for Indonesia Export Development (UNIED) memprediksi, nilai ekspor kakao tahun ini akan mencapai 1,34 triliun dolar AS. Angka tersebut tumbuh 8,3 persen dibanding tahun lalu, yakni 1,24 triliun dolar AS.
Peneliti UNIED Muhammad Firdaus mengatakan, faktor utama dari peningkatan tersebut adalah permintaan dari Amerika Serikat terhadap produk lemak atau minyak kakao yang terus tumbuh. Diketahui, Paman Negeri Sam merupakan pasar utama kakao Indonesia. "Persentase mencapai 27 persen," ujarnya ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Ahad (3/3).
Pada 2018, ekspor kakao Indonesia ke AS tumbuh 6,7 persen menjadi sekitar 324 juta dolar AS seiring tingginya permintaan terhadap produk lemak atau minyak kakao. Pada tahun ini, pertumbuhan ke Amerika masih tetap terjadi hingga 16,2 persen.
Konsumsi cokelat dan permen di Amerika diperkirakan akan melanjutkan tren kenaikan. Selain itu, Firdaus menambahkan, tren tersebut didukung oleh pertumbuhan populasi dan meningkatnya daya beli seiring dengan peningkatan permintaan untuk cokelat premium dan makanan manis.
Setelah AS, Malaysia menjadi pasar utama kedua dari komoditas kakao Indonesia dengan persentase sekitar 17 persen. Tapi, menurut data yang diolah UNIED, pertumbuhan tersebut terus mengalami penurnan sejak 2017. Pada tahun ini, penurunan diprediksi terjadi sekitar 1,70 persen, dari 189,19 juta dolar AS pada 2018 menjadi 185,98 juta dolar AS di tahun ini.
Penurunan ekspor itu dikompensasi dengan peningkatan ekspor ke pasar-pasar nontradisional untuk komoditas kakao. Di antaranya, ke Cina, terutama untuk produk pasta kakao. Sementara di Belanda menjadi pasar alternatif lain dari produk lemak atau minyak kakao dan India menajdi importir untuk biji kakao.
"Peran ekspor ke ketiga negara ini cukup besar karena berkontribusi hampir 20 persen ekspor kakao nasional," kata Firdaus.
Selain itu, proyeksi harga yang stabil juga membuat nilai ekspor kakao Indonesia tumbuh moderat di tahun 2019. Posisi terahir harga kakao di awal tahun 2019 sebesar 2.394 per MT yang sudah berlangsung sejak akhir 2018. Penyebabnya, permintaan tinggi dari perayaan Natal dan Tahun Baru.
Firdaus memperkirakan, harga kakao di tahun 2019 diprediksi lebih stabil dibandingkan tahun 2018. Pada kuartal I hingga kuartal II diperkirakan harga akan cenderung menurun yang diakibatkan oleh meningkatnya pasokan kakao dari negara-negara Afrika.
Tapi, mulai masuk kuartal III, harga kakao diperkirakan akan mulai meningkat seiring adanya ekspektasi cuaca yang kurang baik yang dapat mengganggu pasokan dunia. "Selain itu juga meningkatnya permintaan kakao untuk diolah menjadi coklat di semester terakhir 2019 diperkirakan juga akan berdampak membaiknya harga kakao sejak kuartal III," kata Firdaus.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya menyampaikan target lebih ambisius. Ia memprediksi, ekspor kakao tahun ini dapat tumbuh hingga 10 persen. Apabila pemerinah dapat menolkan sementara tarif bea masuk biji kakao, pertumbuhan ekspor dapat menyentuh angka 25 persen.
Sindra menyebutkan, tantangan terbesar dalam ekspor saat ini adalah tarif bea masuk lima persen. Tarif ini membaasi gerak industri dalam melakukan ekspansi, sekaligus untuk meningkatkan daya saing industri lokal. "Oleh karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikannya," ucapnya.
Dari pertumbuhan ekspor, Sindra menyebutkan, Amerika tetap akan menjadi andalan untuk kakao olahan. Begitupun dengan ke Uni Eropa, apabila pemerintah berhasil menurunkan tarif bea masuk produk kakao olahan ke sana menjadi nol persen. Terutama, melalui skema Indonesia-Europe Free Trade Association (IE) Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) pada tahun ini.