REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat, total utang BUMN mencapai Rp 2.394 triliun hingga akhir tahun 2018. Jumlah tersebut meningkat dibanding total utang sepanjang 2017 sebesar Rp 1.623 triliun.
Menurut pemerintah, peningkatan itu masih cukup wajar karena diikuti dengan peningkatan aset dan laba perusahan. Namun, hal itu tetap dinilai sebagai keadaan yang perlu diperhatikan oleh Kementerian BUMN.
“Peningkatan utang dalam setahun ini angkanya cukup mengejutkan dan mengkhawatirkan,” kata Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talatov saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (1/3).
Mengacu akumulasi data Kementerian BUMN, total peningkatan aset BUMN dari tahun 2017 ke 2018 sebesar Rp 882 triliun. Yakni dari Rp 7.210 triliun pada 2017 menjadi Rp 8.092 triliun pada 2018. Sedangkan total laba, hanya meningkat Rp 2 triliun. Yakni dari Rp 186 triliun menjadi Rp 188 triliun.
Abra mengatakan, peningkatan aset dan laba itu tidak sebanding dengan peningkatan utang BUMN yang mencapai Rp 771 triliun. “Laba Cuma naik tipis, sedangkan aset itu masih umum. Belum tentu peningkatan aset itu semuanya dari aset yang berkualitas,” katanya.
Ia menambahkan, sektor BUMN yang saat ini dalam kondisi mengkhawatirkan yakni BUMN karya yang banyak ditugaskan pemerintah membangun infrastruktur. Selain itu, BUMN energi, yakni Pertamina dan PLN juga dalam kondisi serupa.
Peningkatan utang yang terus terjadi saat ini semestinya lebih dikendalikan oleh pemerintah. Pasalnya, jika dibiarkan, hal tersebut akan mengurangi kondisi kesehatan keuangan BUMN. Di satu sisi, Abra mengatakan, utang yang diterbitkan itu jangan sampai digunakan untuk membangun infrastruktur yang kurang menghasilkan pendapatan.
“Kesehatan keuangan BUMN kalau sudah terlihat sering mnerbitkan surat utang. Ini dampak jangka pendek yang akan terlihat,” ujarnya.
Sedangkan untuk jangka panjang, jika BUMN tidak lagi mampu membiayai proyek penugasan, maka pemerintah yang akan mengucurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan yang bersangkutan. Menurut Abra, jika terjadi, hal itu akan memperburuk kondisi APBN.
Oleh sebab itu, Abra menilai, pada tahun ini lebih baik pemerintah membuat skala prioritas proyek infrastruktur yang harus dibangun. Soal penugasan kepada BUMN, jangan dipaksakan. “Ini harus dikendalikan karena juga akan berdampak pada fluktuasi nilai tukar rupiah. Kenapa? karena utang juga ada yang berbentuk valuta asing,” ujarnya.