REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, kebijakan yang diambil setiap pemimpin akan menuju pada populisme. Sebab, mereka dipilih oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat melalui berbagai program kerja yang ditawarkan dari keterjangkauan harga bahan pokok hingga akses lapangan kerja yang luas, terutama kepada generasi milenial.
Akan tetapi, Sri mengatakan, tantangan terbesar dalam menjalani kebijakan populisme itu adalah menjaga agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa tetap berkelanjutan. Sejumlah negara demokrasi, seperti Venezuela, sempat menjalani kebijakan ekstrem. Hasil bumi berupa minyak mereka dipakai secara besar-besaran dan gratis untuk rakyat hingga tetangga negara seperti Kuba. Dampaknya, ketika harga minyak di dunia jatuh, APBN mereka bangkrut.
Dalam konteks Indonesia, program pemerintah untuk membangun infrastruktur juga terbilang populis. Tapi, Sri menilai, kebijakan tersebut tetap selaras dengan kebutuhan masyarakat dan menyesuaikan dengan kondisi APBN. "Tujuannya juga untuk tingkatkan produktivitas dan competitiveness," tuturnya dalam acara CNBC Economic Outlook Report di Jakarta, Kamis (28/2).
Sri menyebutkan, kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur adalah kebijakan populis yang benar. Sebab, kebijakan tersebut mampu mendukung peningkatan produktivitas serta daya saing ekonomi nasional.
Program pengembangan sumber daya manusia (SDM) juga dinilai Sri terbilang populis. Tapi, tujuannya dilihat secara makro, yakni memajukan negara. Suatu negara tidak akan bisa maju tanpa masyarakatnya mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang baik dan masih terjadi kesenjangan.
Terlepas dari itu, Sri mengatakan, kebijakan populis ini masih tetap diiringi dengan APBN yang berkelanjutan. Hal itu termasuk ketika memasuki tahun pemilu, di mana pada dua bulan lagi, Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu).
Sri mengajak pengusaha dan masyarakat untuk tidak mencemaskan kondisi ekonomi di tahun politik ini. Beberapa kali Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi, ekonomi tetap stabil melalui kolaborasi antar kementerian dan lembaga. "Kita juga memiliki UU Keuangan Negara dan UU Bank Indonesia," ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga menjamin bahwa perekonomian nasional akan tetap aman pada tahun politik. Optimisme disampaikan JK mengingat dalam 11 kali pemilihan presiden, baik langsung ataupun tidak langsung, ketidakstabilan hanya terjadi satu kali, yakni pada 1998.
Saat itu, JK menggambarkan, sistem politik yang dianut Indonesia masih sistem otoriter. Kemudian, terjadi berbagai tindakan yang dianggap sebagai nepotisme, sehingga menimbulkan kekacauan di perekonomian. Tapi, kini, ia tidak menilai tanda-tanda otoriter dan nepotisme di pemerintahan. "Kita sangat demokratis," ucapnya.