REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor ITB Ahmad Dahlan (ITB-AD) Mukhaer Pakkanna menilai, hadirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomot 156 Tahun 2018 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau sarat akan aroma politik. Sebab, regulasi ini sangat memberi tempat kepada petani tembakau dan industri kretek.
Padahal, Mukhaer menambahkan, petani tembakau sangat terbatas dan industri rokok sendiri dimiliki pengusaha besar (kapitalis). "Sementara, prevalensi merokok masyarakat terutama pada anak-anak dan masyarakat miskin jauh lebih besar dibandingkan pendapatan cukai yg diberikan ke negara," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (28/2).
Pandangan ini disampaikan Mukhaer saat menggelar diskusi melalui Center of Human and Economic Development (CHED) ITB-AD di Cafe Undertwenty ITB-AD, Kampus Ciputat, Selasa (26/2). Lebih lanjut, Mukhaer menegaskan, terdapat sesuatu di balik keuntungan industri rokok di Indonesia.
"Yakni, adanya transaksi ekonomi politik yang terjadi," tuturnya.
Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdilah Ahsan menilai, sebenarnya pemerintah masih memiliki opsi yang win win solution. Yakni, tetap melanjutkan PMK 146 Tahun 2017, regulasi yang digantikan PMK 156 Tahun 2018. Oleh karena itu, Abdilah menambahkan, tidak perlu adanya perubahan regulasi atas cukai dan simplifikasi produk tembakau.
Sementara itu, Kepala Program ADTC dan juga Kepala CHED ITB-AD Roosita MD menjelaskan, diskusi juga diselenggarakan dalam rangka mengkaji perubahan aturan cukai dan layer rokok terbaru melalui PMK 156/2018 dengan pendekatan ekonomi. "Sekaligus melihat dampaknya terhadap masyarakat umum dan para pemangku kebijakan di dalamnya," katanya.
Roosita juga mengungkapkan melalui CHED ITB-AD ini, banyak kajian berkenaan dengan ekonomi yang akan dilaksanakan. Khususnya, isu ekonomi yang berdampak langsung terhadap masyarakat.